Selasa, 02 Juni 2009
Irak Hadapi Serangan Baru
IRAK HADAPI SERANGAN BARU
Oleh : Zulharbi Salim*
Keputusan Irak menyetujui kembalinya tim inspeksi PBB (UNMOVIC) tanpa syarat diumumkan Presiden Saddam Hussein (18/9) setelah lebih dahulu mengirimkan surat kepada Sekjen PBB, Kofi Annan melalui Menlu Irak Naji Sabri (16/9), disambut baik di kalangan diplomatik di berbagai penjuru dunia.
Persetujuan Irak itu muncul di tengah gencarnya ancaman AS akan menyerang Irak. Tekanan diplomatik terus dilancarkan supaya Irak menerima kembali tim inspeksi PBB yang diusirnya tahun 1998.
Ketika beberapa anggota partai Demokrat Kongres AS menyampaikan maksudnya untuk "tidak tergesa-gesa" memberikan persetujuannya kepada Presiden George W. Bush menyerang Irak, para Menlu Liga Arab di PBB meminta kepada Baghdad untuk memberikan kesempatan kepada tim inspeksi PBB (UNMOVIC) kembali memeriksa keberadaan senjata pembunuh massal yang dituduhkan kepada Irak, sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan AS dan Inggris.
Irak dalam berbagai kesempatan sebelumnya membantah bahwa Irak sama sekali tidak memiliki senjata "pemusnah massal" yang dituduhkan kepadanya. Untuk apa lagi AS meributkan kepemilikan senjata berbahaya tersebut. Sebenarnya Irak telah porak poranda akibat serangan AS dan sekutunya yang mengorbankan banyak rakyat yang tidak berdosa sejak 10 tahun yang lalu.
Menurut pengamat politik Perancis, Climo Nassau "perang yang amat berbahaya sedang dicanangkan terhadap Irak oleh para jenderal di Washington".
Para ahli strategi di Washington sebagian besar menolak membuat rancangan serangan yang dicanangkan oleh Bush itu. Mereka ingin menyatakan agar Bush menjauhi serangan ke negara-negara Arab, termasuk ke Irak. Irak sudah trauma terhadap kebohongan dan serangan AS selama lebih dari 10 tahun setelah Irak melakukan invasi ke Kuwait tahun 1991.
Akibat terburuk serangan AS dan sekutunya terhadap rakyat Irak adalah memperparah perekonomian mereka sehingga rakyat yang sudah miskin semakin menderita. Jadi serangan mendatang akan membuat Irak menjadi neraka dan bumi hangus, jika hanya untuk menghukum seorang Presiden yang bernama Saddam Hussein.
Dituduh sarang teroris
Pada hakikatnya kebrutalan Saddam sudah dihukum berat oleh PBB (dimotori AS tentunya) dengan boikot ekonomi dan mengucilkan Irak dari dunia internasional. Irak dikaitkan dengan tuduhan sebagai sarang "teroris" yang dibantah oleh Baghdad dengan tegas. Menurut Saddam Hussein sebenarnya yang menjadi teroris itu adalah yang "berkaok" sebagai anti teroris. Tuduhan balik itu dialamatkan kepada AS dan sekutunya.
Ancaman serangan terhadap Irak merupakan tindakan "teror" baru, seperti yang dilakukan terhadap Afghanistan dengan dalih mencari pemimpin Al-Qaida, Osamah Bin Laden yang ternyata sampai sekarang belum ditemukan.
Pengamat Timur Tengah menilai Irak akan didijadikan ajang neraka baru seperti Vietnam untuk menjatuhkan Presiden Saddam dari kedudukannya dengan cara kekerasan. Akibatnya akan menjadikan bangsa Arab dan Timur Tengah secara keseluruhan menderita dalam kurun waktu yang panjang.
Yang diuntungkan dalam tindakan ini tidak lain adalah Israel. Untuk membela kepentingan "anak emas" AS ini pulalah Irak diluluh-lantakkan, karena Irak dalam perang Teluk ke-II tahun 1991 sempat membuat Israel kecut dengan peluncuran rudal Scud ke Tel Aviv.
Menurut laporan tim inspeksi PBB yang sudah memeriksa Irak menyatakan sejak perang Teluk tahun 1991, Irak sudah tidak memiliki lagi bunker senjata "pemusnah massal" yang dituduhkan kepadanya. Sedang AS tidak mau percaya sama sekali atas laporan tersebut, sampai memasang intelnya dari FBI dan CIA bergabung dengan tim PBB, namun gagal menemukan bukti yang sah untuk menyeret penguasa Irak untuk mengakui mempunyai senjata pemusnah massal.
Sementara itu, DK PBB secara aklamasi sepakat memberi ultimatum kepada Irak untuk menerima kembali tim inspeksi PBB. Penguasa Irak yang semula menolak akhirnya menerima tanpa syarat.
Atas ditolaknya tim PBB dua minggu lalu oleh Irak semakin memperkuat kecurigaan AS untuk segera menyerang Irak, meskipun di kalangan pembantu Bush sendiri terdapat dualisme antara mendukung dan menunda maksud Bush itu. Saran Kongres AS, supaya Bush mempertimbangkan kembali rencana "perang" dengan Irak dapat digugurkan Bush dengan dalih ancaman keamanan nasional dan internasional. Namun Ketua Kongres Tom Dashel masih tetap mempertanyakan tentang perlu tidaknya Irak diserang dan kepentingannya terhadap AS dan dunia internasional. Beberapa anggota partai Demokrat menolak rencana Bush menyerang Irak karena beresiko tinggi.
Apakah benar Irak masih menyembunyikan senjata pembunuh massal? Pertanyaan itu dijawab oleh Irak, dengan mempersilahkan tim PBB datang, kapanpun mereka mau tanpa syarat. Irak menegaskan bahwa mereka sama sekali tidak memiliki senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan selama ini.
Menlu Arab Saudi, Pangeran Saud Al-Faisal menyatakan, Baghdad saat ini sedang menanti dan berpacu dengan waktu menerima tim PBB dan ancaman serangan AS. Ancaman serangan AS ditolak semua pemimpin Negara Arab dan Timur Tengah. "Negara Arab tidak ingin dirugikan lebih banyak lagi".
Dalam perang Teluk tahun 1991, Arab Saudi memberikan dukungan penuh kepada tentara sekutu untuk menggunakan wilayahnya sebagai pangkalan militer menyerang Irak. Tetapi sekarang sudah lain, Irak bukan lagi musuh namun sudah menjadi sahabat setelah Irak mengakui kadaulatan Kuwait secara penuh.
Berbasis di Qatar
Pergelaran kekuatan militer sudah banyak di wilayah Teluk Arab, termasuk yang terakhir digelar di depan hidung Irak yang tidak jauh dari pelabuhan Basra di Teluk Persia.
Konon armada AS dan Inggris sudah siap untuk menyerang Irak kapanpun diperintahkan. AS sudah sepakat dengan pemerintah Qatar menjadikan Qatar basis untuk menyerang Irak selain pangkalan AS di Bahrain, Oman dan Kuwait. Pangkalan NATO di Turki juga sudah disiapkan.
Sikap pemerintah Qatar mengizinkan wilayahnya sebagai pangkalan AS dikecam berbagai Negara Arab di dalam Sidang Liga Arab di Cairo. Qatar dituduh telah bermain mata dengan AS untuk kepentingannya sendiri. Arab Saudi secara tegas menyatakan penolakannya untuk menggunakan wilayahnya sebagai basis penyerangan ke Irak. Demikian juga Negara Arab beraliran keras lainnya seperti Syria dan Lybia mengecam tindakan toleransi Qatar tersebut. Kuwait yang memang telah disiapkan sebagai pusat serangan ke Irak dengan 30.000 personil AS, sama sekali tidak dapat menolak sebagai basis penyerbuan ke Irak, karena sudah berutang budi kepada AS.
Pernyataan Menlu Kuwait Sheikh Al-Sabah memperkuat dugaan itu karena AS dan sekutunya telah membebaskan Kuwait dari serangan Irak dalam perang Teluk 1991sehingga Kuwait tidak bisa berbuat banyak kecuali menerima dengan segala risikonya. Sikap Kuwait pada intinya tidak ingin rakyat Irak yang tidak bersalah menjadi korban keganasan perang baru. Ibaratnya Kuwait sudah "tergadai" kepada AS dan harus membalas budi sang raksasa yang menjadi polisi dunia.
Irak siap tempur
Pernyataan Deputi PM Irak Tariq Aziz memperkuat pernyataan Wakil Presiden Irak, Izzat Ibrahim bahwa dalam keadaan bagaimanapun Irak sudah siap menghadapi serangan AS dan sekutunya (Inggris).
Serangan AS terhadap Irak selama ini diberlakukan secara mendadak, dinilai pemerintah Irak tidak lain sebagai serangan "orang yang sudah berputus asa" untuk menghancurkan kekuatan yang sama sekali tidak diketahuinya. Irak dalam beberapa tahun terakhir ini sempat membenahi Angkatan Bersenjatanya, termasuk melatih pilot-pilot tempur di negara ketiga (Arab tertentu), meskipun tidak lagi mempunyai pesawat tempur. Pesawat tempur Irak sejak perang Teluk disembunyikan di Negara tetangganya. Konon, bila Irak diancam untuk berperang, maka pesawat tempur Irak tersebut bisa diterbangkan ke arena pertempuran.
Deputi PM Irak, Tarik Aziz sehabis bertemu dengan Sekjen PBB, Kofi Annan dalam kerangka KTT Bumi di Johannesberg menyatakan bahwa Irak memandang serius ancaman Amerika Serikat (AS). Irak sudah siap menghadapi segala kemungkinan melawan serangan itu. "Kami siap membela Negara kami", ucap Tarik Aziz.
Menlu Irak, Naji Sabri setelah kembali dari Moskow menyatakan bahwa Russia sepenuhnya belum dapat menjanjikan apa-apa kepada Irak, namun ditegaskannya akan mendukung Irak jika AS memutuskan serangan sepihak.
Tarik Aziz menyampaikan kepada PBB kesediaan Irak menerima kedatangan tim PBB yang sejak tahun 1998 diusir Irak untuk melanjutkan tugasnya kembali di Irak. Irak sepenuhnya bersedia bekerjasama dengan PBB dan tidak dengan AS. "Jika ada jalan yang bisa ditempuh PBB Irak akan tetap solid dalam melaksanakan kerjasama itu. Irak akan sedia berdiskusi lebih jauh. Irak telah menderita selama 11 tahun, jangan lagi diperpanjang dengan aksi militer AS dan sekutunya. Rencana serangan AS harus dihentikan" pinta Aziz. Azis dengan tegas menyatakan bahwa sikap AS terhadap Irak sudah keterlaluan dan tidak dapat diterima akal sehat. Kemarin keterangannya lain, hari ini lain lagi dan besok beda lagi sehingga AS tetap akan melakukan serangan ke Irak… dan ini tidak dapat kami terima".
Harian Videomosti Russia yang terbit di Moskow mengomentari kunjungan dan pembicaraan Menlu Irak, Naji Sabri dan rekannya Menlu Igor Ivanov yang memperoleh sukses. Russia dapat mengerti posisi Irak saat ini dan akan berusaha membantu untuk menyelesaikan secara damai tanpa mengganggu hubungan AS-Russia.
Dubes Irak di Moskow, Abbas Khalaf (17/9) menyatakan bahwa Irak dan Russia telah menandatangani kesepakatan perdagangan senilai 40 milyar USD. Moskow mendukung kembalinya utusan khusus PBB dan menolak serangan AS.
Annan berjanji akan mencari solusi "damai' untuk mencabut embargo ekonomi terhadap Irak, setelah Irak dapat menerima kembali kedatangan tim inspeksi PBB sebagai salah satu syarat bagi pencabutan embargo ekonomi.
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa untuk pertama kali menyatakan penolakan atas rencana serangan AS ke Irak, khususnya Kanselir Jerman dan Presiden Perancis Jack Shirac.
Di Irak akan terjadi apa yang akan terjadi… perang atau damai…! Atau menyusul Afghanistan kedua..
*) Penulis adalah pemerhati masalah Timur Tengah, tinggal di Cimanggis, Depok.
Oleh : Zulharbi Salim*
Keputusan Irak menyetujui kembalinya tim inspeksi PBB (UNMOVIC) tanpa syarat diumumkan Presiden Saddam Hussein (18/9) setelah lebih dahulu mengirimkan surat kepada Sekjen PBB, Kofi Annan melalui Menlu Irak Naji Sabri (16/9), disambut baik di kalangan diplomatik di berbagai penjuru dunia.
Persetujuan Irak itu muncul di tengah gencarnya ancaman AS akan menyerang Irak. Tekanan diplomatik terus dilancarkan supaya Irak menerima kembali tim inspeksi PBB yang diusirnya tahun 1998.
Ketika beberapa anggota partai Demokrat Kongres AS menyampaikan maksudnya untuk "tidak tergesa-gesa" memberikan persetujuannya kepada Presiden George W. Bush menyerang Irak, para Menlu Liga Arab di PBB meminta kepada Baghdad untuk memberikan kesempatan kepada tim inspeksi PBB (UNMOVIC) kembali memeriksa keberadaan senjata pembunuh massal yang dituduhkan kepada Irak, sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan AS dan Inggris.
Irak dalam berbagai kesempatan sebelumnya membantah bahwa Irak sama sekali tidak memiliki senjata "pemusnah massal" yang dituduhkan kepadanya. Untuk apa lagi AS meributkan kepemilikan senjata berbahaya tersebut. Sebenarnya Irak telah porak poranda akibat serangan AS dan sekutunya yang mengorbankan banyak rakyat yang tidak berdosa sejak 10 tahun yang lalu.
Menurut pengamat politik Perancis, Climo Nassau "perang yang amat berbahaya sedang dicanangkan terhadap Irak oleh para jenderal di Washington".
Para ahli strategi di Washington sebagian besar menolak membuat rancangan serangan yang dicanangkan oleh Bush itu. Mereka ingin menyatakan agar Bush menjauhi serangan ke negara-negara Arab, termasuk ke Irak. Irak sudah trauma terhadap kebohongan dan serangan AS selama lebih dari 10 tahun setelah Irak melakukan invasi ke Kuwait tahun 1991.
Akibat terburuk serangan AS dan sekutunya terhadap rakyat Irak adalah memperparah perekonomian mereka sehingga rakyat yang sudah miskin semakin menderita. Jadi serangan mendatang akan membuat Irak menjadi neraka dan bumi hangus, jika hanya untuk menghukum seorang Presiden yang bernama Saddam Hussein.
Dituduh sarang teroris
Pada hakikatnya kebrutalan Saddam sudah dihukum berat oleh PBB (dimotori AS tentunya) dengan boikot ekonomi dan mengucilkan Irak dari dunia internasional. Irak dikaitkan dengan tuduhan sebagai sarang "teroris" yang dibantah oleh Baghdad dengan tegas. Menurut Saddam Hussein sebenarnya yang menjadi teroris itu adalah yang "berkaok" sebagai anti teroris. Tuduhan balik itu dialamatkan kepada AS dan sekutunya.
Ancaman serangan terhadap Irak merupakan tindakan "teror" baru, seperti yang dilakukan terhadap Afghanistan dengan dalih mencari pemimpin Al-Qaida, Osamah Bin Laden yang ternyata sampai sekarang belum ditemukan.
Pengamat Timur Tengah menilai Irak akan didijadikan ajang neraka baru seperti Vietnam untuk menjatuhkan Presiden Saddam dari kedudukannya dengan cara kekerasan. Akibatnya akan menjadikan bangsa Arab dan Timur Tengah secara keseluruhan menderita dalam kurun waktu yang panjang.
Yang diuntungkan dalam tindakan ini tidak lain adalah Israel. Untuk membela kepentingan "anak emas" AS ini pulalah Irak diluluh-lantakkan, karena Irak dalam perang Teluk ke-II tahun 1991 sempat membuat Israel kecut dengan peluncuran rudal Scud ke Tel Aviv.
Menurut laporan tim inspeksi PBB yang sudah memeriksa Irak menyatakan sejak perang Teluk tahun 1991, Irak sudah tidak memiliki lagi bunker senjata "pemusnah massal" yang dituduhkan kepadanya. Sedang AS tidak mau percaya sama sekali atas laporan tersebut, sampai memasang intelnya dari FBI dan CIA bergabung dengan tim PBB, namun gagal menemukan bukti yang sah untuk menyeret penguasa Irak untuk mengakui mempunyai senjata pemusnah massal.
Sementara itu, DK PBB secara aklamasi sepakat memberi ultimatum kepada Irak untuk menerima kembali tim inspeksi PBB. Penguasa Irak yang semula menolak akhirnya menerima tanpa syarat.
Atas ditolaknya tim PBB dua minggu lalu oleh Irak semakin memperkuat kecurigaan AS untuk segera menyerang Irak, meskipun di kalangan pembantu Bush sendiri terdapat dualisme antara mendukung dan menunda maksud Bush itu. Saran Kongres AS, supaya Bush mempertimbangkan kembali rencana "perang" dengan Irak dapat digugurkan Bush dengan dalih ancaman keamanan nasional dan internasional. Namun Ketua Kongres Tom Dashel masih tetap mempertanyakan tentang perlu tidaknya Irak diserang dan kepentingannya terhadap AS dan dunia internasional. Beberapa anggota partai Demokrat menolak rencana Bush menyerang Irak karena beresiko tinggi.
Apakah benar Irak masih menyembunyikan senjata pembunuh massal? Pertanyaan itu dijawab oleh Irak, dengan mempersilahkan tim PBB datang, kapanpun mereka mau tanpa syarat. Irak menegaskan bahwa mereka sama sekali tidak memiliki senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan selama ini.
Menlu Arab Saudi, Pangeran Saud Al-Faisal menyatakan, Baghdad saat ini sedang menanti dan berpacu dengan waktu menerima tim PBB dan ancaman serangan AS. Ancaman serangan AS ditolak semua pemimpin Negara Arab dan Timur Tengah. "Negara Arab tidak ingin dirugikan lebih banyak lagi".
Dalam perang Teluk tahun 1991, Arab Saudi memberikan dukungan penuh kepada tentara sekutu untuk menggunakan wilayahnya sebagai pangkalan militer menyerang Irak. Tetapi sekarang sudah lain, Irak bukan lagi musuh namun sudah menjadi sahabat setelah Irak mengakui kadaulatan Kuwait secara penuh.
Berbasis di Qatar
Pergelaran kekuatan militer sudah banyak di wilayah Teluk Arab, termasuk yang terakhir digelar di depan hidung Irak yang tidak jauh dari pelabuhan Basra di Teluk Persia.
Konon armada AS dan Inggris sudah siap untuk menyerang Irak kapanpun diperintahkan. AS sudah sepakat dengan pemerintah Qatar menjadikan Qatar basis untuk menyerang Irak selain pangkalan AS di Bahrain, Oman dan Kuwait. Pangkalan NATO di Turki juga sudah disiapkan.
Sikap pemerintah Qatar mengizinkan wilayahnya sebagai pangkalan AS dikecam berbagai Negara Arab di dalam Sidang Liga Arab di Cairo. Qatar dituduh telah bermain mata dengan AS untuk kepentingannya sendiri. Arab Saudi secara tegas menyatakan penolakannya untuk menggunakan wilayahnya sebagai basis penyerangan ke Irak. Demikian juga Negara Arab beraliran keras lainnya seperti Syria dan Lybia mengecam tindakan toleransi Qatar tersebut. Kuwait yang memang telah disiapkan sebagai pusat serangan ke Irak dengan 30.000 personil AS, sama sekali tidak dapat menolak sebagai basis penyerbuan ke Irak, karena sudah berutang budi kepada AS.
Pernyataan Menlu Kuwait Sheikh Al-Sabah memperkuat dugaan itu karena AS dan sekutunya telah membebaskan Kuwait dari serangan Irak dalam perang Teluk 1991sehingga Kuwait tidak bisa berbuat banyak kecuali menerima dengan segala risikonya. Sikap Kuwait pada intinya tidak ingin rakyat Irak yang tidak bersalah menjadi korban keganasan perang baru. Ibaratnya Kuwait sudah "tergadai" kepada AS dan harus membalas budi sang raksasa yang menjadi polisi dunia.
Irak siap tempur
Pernyataan Deputi PM Irak Tariq Aziz memperkuat pernyataan Wakil Presiden Irak, Izzat Ibrahim bahwa dalam keadaan bagaimanapun Irak sudah siap menghadapi serangan AS dan sekutunya (Inggris).
Serangan AS terhadap Irak selama ini diberlakukan secara mendadak, dinilai pemerintah Irak tidak lain sebagai serangan "orang yang sudah berputus asa" untuk menghancurkan kekuatan yang sama sekali tidak diketahuinya. Irak dalam beberapa tahun terakhir ini sempat membenahi Angkatan Bersenjatanya, termasuk melatih pilot-pilot tempur di negara ketiga (Arab tertentu), meskipun tidak lagi mempunyai pesawat tempur. Pesawat tempur Irak sejak perang Teluk disembunyikan di Negara tetangganya. Konon, bila Irak diancam untuk berperang, maka pesawat tempur Irak tersebut bisa diterbangkan ke arena pertempuran.
Deputi PM Irak, Tarik Aziz sehabis bertemu dengan Sekjen PBB, Kofi Annan dalam kerangka KTT Bumi di Johannesberg menyatakan bahwa Irak memandang serius ancaman Amerika Serikat (AS). Irak sudah siap menghadapi segala kemungkinan melawan serangan itu. "Kami siap membela Negara kami", ucap Tarik Aziz.
Menlu Irak, Naji Sabri setelah kembali dari Moskow menyatakan bahwa Russia sepenuhnya belum dapat menjanjikan apa-apa kepada Irak, namun ditegaskannya akan mendukung Irak jika AS memutuskan serangan sepihak.
Tarik Aziz menyampaikan kepada PBB kesediaan Irak menerima kedatangan tim PBB yang sejak tahun 1998 diusir Irak untuk melanjutkan tugasnya kembali di Irak. Irak sepenuhnya bersedia bekerjasama dengan PBB dan tidak dengan AS. "Jika ada jalan yang bisa ditempuh PBB Irak akan tetap solid dalam melaksanakan kerjasama itu. Irak akan sedia berdiskusi lebih jauh. Irak telah menderita selama 11 tahun, jangan lagi diperpanjang dengan aksi militer AS dan sekutunya. Rencana serangan AS harus dihentikan" pinta Aziz. Azis dengan tegas menyatakan bahwa sikap AS terhadap Irak sudah keterlaluan dan tidak dapat diterima akal sehat. Kemarin keterangannya lain, hari ini lain lagi dan besok beda lagi sehingga AS tetap akan melakukan serangan ke Irak… dan ini tidak dapat kami terima".
Harian Videomosti Russia yang terbit di Moskow mengomentari kunjungan dan pembicaraan Menlu Irak, Naji Sabri dan rekannya Menlu Igor Ivanov yang memperoleh sukses. Russia dapat mengerti posisi Irak saat ini dan akan berusaha membantu untuk menyelesaikan secara damai tanpa mengganggu hubungan AS-Russia.
Dubes Irak di Moskow, Abbas Khalaf (17/9) menyatakan bahwa Irak dan Russia telah menandatangani kesepakatan perdagangan senilai 40 milyar USD. Moskow mendukung kembalinya utusan khusus PBB dan menolak serangan AS.
Annan berjanji akan mencari solusi "damai' untuk mencabut embargo ekonomi terhadap Irak, setelah Irak dapat menerima kembali kedatangan tim inspeksi PBB sebagai salah satu syarat bagi pencabutan embargo ekonomi.
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa untuk pertama kali menyatakan penolakan atas rencana serangan AS ke Irak, khususnya Kanselir Jerman dan Presiden Perancis Jack Shirac.
Di Irak akan terjadi apa yang akan terjadi… perang atau damai…! Atau menyusul Afghanistan kedua..
*) Penulis adalah pemerhati masalah Timur Tengah, tinggal di Cimanggis, Depok.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar