Sabtu, 06 Juni 2009
Krisis Teluk Antara Pro dan Kontra
KRISIS TELUK ANTARA PRO DAN KONTRA
Oleh : Zulharbi Salim
DARI krisis Teluk dapat diambil kesimpulan bahwa bangsa Arab telah menjadi bangsa terpecah belah dan tidak bersatu. Solidaritas Arab yang selama ini berkumandang dan diagung-agungkan sebagai simbol pemersatu menjadi ompong dan tercampak dari identitasnya. Apa yang disebut Qaumiyah (nasionalisme) Arab sudah tidak dapat membawakan perannya dan sudah kehilangan bentuk.
Baghdad sempat menjadi tuan rumah Sidang KTT Arab Istimewa pada tanggal 30 Mei 1990 lalu dan mendapat kesempatan mengorbitkan Saddam Hussein sebagai pemimpin Arab yang dianggap berhasil mengadakan negosiasi dengan Iran. Dia berhasil menciptakan status-quo dengan Iran setelah 8 tahun bertempur habis-habisan. Saddam mengumandangkan apa yang disebutqaumiyah Arab yang mesti dibina dan dijunjung tinggi.
KTT Istimewa tersebut, membahas masalah Palestina atas permintaan Presiden Palestina/Ketua PLO, Yassir Arafat, dihadiri oleh 19 negara Arab, Syria dan Libanon absen. Hasil KTT antara lain mengutuk pengungsi Yahudi Uni Soviet secara besar-besaran ke wilayah Palestina yang diduduki Israel, membantu perjuangan bangsa Palestina dan intifadah (revolusi batu). Menyerukan konvesi Taif bagi penyelesaian dalam negeri Libanon. Mempersatukan gerak dan langkah dalam rangka membina solidaritas Arab dan membentuk pertahanan bersama Pan Arabian.
Dalam pidato pembukaan KTT tersebut, Saddam Hussein dengan gaya seorang orator menyatakan ancaman serius yang dialamatkannya kepada Israel dan Amerika Serikat, yang disebutnya sebagai imperalis modern dengan mengatakan "jika Israel berani menyerang Irak dengan senjata nuklir, Irak akan membalas dengan serangan lebih dahsyat dan kami sanggup menghancurkan Israel, bangsa Arab tidak perlu takut" .
Belum lagi keputusan KTT Baghdad itu direalisir, khususnya mengenai pembinaan solidaritas Arab dan pertahanan keamanan bersama, dalam tenggang waktu hanya 2 bulan, pada tanggal 2 Agustus lalu secara mengejutkan Irak melakukan invasi ke Kuwait. Agaknya bagi pemimpin Irak antara pesatuan dan solidaritas Arab dengan penyerbuan ke Kuwait seperti tidak ada kaitan. Sebenarnya Saddam Hussein sudah mendapat kesempatan mengambil alih kepemimpinan bangsa Arab, ibaratnya " Karena nila setitik rusak susu sebelanga".
Akibatnya bukan saja merugikan perjuangan bangsa Palestina dan PLO, tetapi juga dunia Arab sendiri, bahkan menguntungkan Israel disatu pihak dan Iran dipihak lain. Iran yang selama 8 tahun menjadi musuh Irak, dapat mengambil manfaat dengan timbulnya krisis Teluk. Iran dapat menetralisir pertentangannya dengan Irak. Iran dalam hal ini seperti mendapatkandurian runtuh.. Saddam Hussein secara tidak diduga dan mengejutkan menarik pasukannya disepenjang perbatasan Shatt Al-Arab yang selama 8 tahun menjadi ajang sengketa dan pertempuran.
Bukan itu saja, Irak mengembalikan tawanan perang Iran dengan imbalan agar Iran menyerahkan sekitar 40.000 lebih tawanan Irak di Iran. Tawanan-tawanan ini begitu tiba di Irak, langsung ditempatkan di Kuwait dan disepanjang perbatasan Irak-Saudi.
SOLIDARITAS ATAU BENCANA
Masa depan negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah mendapatkan dampak lebih berat, akibat krisis Teluk Persia. Dampak tersebut dirasakan di sektor ekonomi dan kegoncangan perdagangan di dalam negeri. Tidak semua negara Arab penghasil tambang minyak. Yordania misalnya, sebuah negara terletak diutara Arab Saudi dan di Barat Irak, 60% menggantungkan minyaknya dari Irak yang dibeli Yordania dengan harga miring. Kini, negara yang luasnya 90.089 km persegi itu. (lebih luas sedikit dari propinsi Riau) berpenduduk sekitar 7 juta orang dengan ibukota Amman, adalah negara yang paling miskin tambang minyak, tetapi negara terbesar dalam hal penampungan pengungsi. Orang-orang Palestina mengungsi ke Yodania dan kini harus pula menambah dilemmanya dengan ribuan pengungsi dari Irak dan Kuwait.
Embargo ekonomi terhadap Irak yang ditetapkan DK PBB dengan terpaksa harus dilaksanakan Yordania, akibatnya 80% hasil pertanian dan industri Yordania yang selama ini di ekspor ke Irak menjadi terhenti. Harga tidak terkendali. Para pengungsi menyebabkan Yordania harus mencari dana tambahan. Arab Saudi tampil segera mensupply Yordania dengan minyak sebagai pengganti minyak Irak, dengan harga dibawah harga pasar. AS, Jepang dan MEE menyediakan dana buat menunjang ekonomi Yordania.
Adapun sikap Raja Hussein sendiri dalam krisis Teluk lebih condong ke Irak, meskipun tetap menyesalkan pencaplokan Kuwait. Raja Hussein absen dalam KTT Liga Arab di Cairo disebabkan Yordania adalah anggota Dewan Kerjasama Arab bersama Irak, Mesir dan Yaman. Mesir setelah krisis Teluk menyatakan menarik diri. Raja Hussein biasanya muncul sebagai figur yang menonjol dan selalu bersikap netral, tidak dapat mempertahankan sikap tersebut terhadap Irak. Sebabnya, selain anggota Dewan Kerjasama Arab juga karena faktor tekanan dari dalam negeri. Pendukung Saddam cukup potensiil di Yordania, ditambah dengan warga Palestina yang mencapai 35% penduduk Yordania. Negara ini banyak mendapatkan bantuan dari Amerika dan Inggris.
Untuk mempertahankan identitas, Raja Hussein berusaha bersikap agresif dengan mengadakan kunjungan ke Amerika dan Inggris menjelaskan situasi krisis Teluk. Sebelumnya, Raja Hussein berangkat dulu ke Baghdad. Tampaknya usaha-usaha tersebut berhasil juga menjadikan status quo di kawasan Teluk, selain itu Raja Hussein tanggal 20 September 1990 mengadakan KTT terbatas di Rabat dengan Raja Hassan II dan Presiden Chadli Benjedid. KTT terbatas tersebut mencoba menetralisir situasi dengan mengemukan berbagai pendapat untuk dapat membantu penyelesaian krisis dengan negosiasi dan menjauhi global disaster (bencana dunia). Ketiga pemimpin Arab tersebut mencoba mengajukan semboyan solidaritas Arab harus dijunjung tinggi.
ANTARA PRO DAN KONTRA
5 Negara Arab yang berada disepanjang Laut Merah, Mesir, Sudan,Yaman, Djibouti, dan Arab Saudi memiliki potensi arus lalu lintas laut, ditambah dengan Arab Saudi memiliki pula pelabuhan dan pantai di Teluk Persia. Arab Saudi khususnya memang menimbulkan iri hati Irak yang sama sekali tidak mempunyai pantai, selain yang terletak dimulut kota Basra, muara sungai Efrat dan Tigris. Keinginan memiliki pelabuhan bebas inilah yang menjadi salah satu sebab pendudukan Irak di Kuwait, memenuhi ambisi Presiden Saddam.
Menanggapi terjadinya krisis Teluk akibat penyerbuan Irak ke Kuwait, tampaknya tidak semua negara Arab menentangnya, ada yang terang-terangan mendukung, ada pula bersikap menahan diri dan absen disamping ada yang mengutuknya. Antara pro dan kontra ini agaknya termasuk ciri-ciri khas bangsa Arab. Berikut ini beberapa negara yang mendukung Irak.
Menjadi pertanyaan bagi pengamat masalah Timur Tengah, kenapa Sudan bersikap apatis dibawah kepemimpinan Jenderal Omar Basyir? Basyir lebih condong mengikuti pola-pola pemikiran Saddam dan Gaddafi dan karena itu pula mendukung tindakan Saddam dan memboikot Sidang KTM dan KTT Liga Arab membicarakan krisis Teluk. Persoalannya menyangkut jasa baik Presiden Irak yang memberikan bantuan senjata dan amunisi kepada Sudan dalam menghadapi pemberontakan John Garang di Sudan Selatan.
Kolumnis harian Asharq Al-Awsat , Sir Sidehmed, edisi 15 September 1990 menulis mengenai sikap Sudan, tidak hadirnya Sudan dalam Sidang KTM Liga Arab di Cairo membuat posisi negara ini terjepit antara dua kepentingan. Hubungannya dengan Irak dan hubungannya dengan Arab Saudi. Ketika Raja Fahd meminta Sudan mengirimkan bantuan pasukan bergabung dengan pasukan multinasional di wilayah Saudi, ditampik dengan alasan adanya pasukan Amerika dan sekutunya (asing) di Arab Saudi. Sudan selama ini mengalami berbagai goncangan di dalam negeri diantara pemberontakan di Selatan dan percobaan penggulingan kekuasaan. Usaha kup ini gagal dan 28 perwira menengah Sudan dihukum mati. Kemelut lain adalah akibat banjir besar tahun lalu menyebabkan ribuan rakyat Sudan mati kelaparan. Disaat itu, muncullah bantuan sandang dan pangan dari Raja Fahd. Keadaan ini mestinya dipikirkan oleh pemimpin Sudan.
Sudan yang terletak di Selatan Mesir dan berhadapan langsung dengan Saudi di Timur (hanya dipisahkan Laut Merah), mempunyai area seluas 2.504.530 km persegi, terluas di Afrika dan termasuk negara ke-9 terluas didunia, berpenduduk sekitar 24. 500. 000 jiwa , ibukotanya Khartoum.
Sudan berpenduduk berlainan suku, di utara Arab dan di selatan Negro perbedaan suku sering menimbulkan kerusuhan rasial telah memporak-porandakan negara itu, berbagai pemberontakan timbul, guling-menggulingkan kekuasan berjalan terus dan ekonomi semakin parah. Presiden Jaafar Numeiri yang menjadi Presiden tahun 1971 dapat memperbaiki ekonomi dalam negeri secara bertahap tetapi menjalankan kekuasaan tangan besi. Korupsi dimana-mana. Dia digulingkan Jenderal Abdurrahman Siwareddahab tanggal 6 April 1971, Numeiri lari ke Mesir. Pemerintahan Siwareddahab dapat menetralisir keadaan dalam negeri dan mengembalikan kehidupan politik dengan memunculkan kembali parpol-parpol.
Kemudian menyerahkan kekuasaan kepada Presiden terpilih Sadiq Al-Mahdi tahun 1986. Tampaknya kehidupan partai di Sudan tidak membawa perobahan, muncullah Jenderal Omar Basyir menggulingkan Mahdi tahun 1989.
Sikap pemerintah Sudan terhadap krisis Teluk tampaknya lebih condong memihak Irak, karena ada unsur-unsur kesamaan pemikiran antara Jenderal Basyir dengan Presiden Saddam Hussein. Salah satu pers Barat mengungkapkan adanya Radar dan Rudal Irak ditempatkan di wilayah Sudan menghadap ke Timur (Arab Saudi), cukup membuat Raja Fahd berang.
YAMAN
Yaman dahulunya terdiri dari Yaman Utara dengan ibukota Sanaa dan Yaman Selatan dengan ibukota Aden. Peta Yaman berobah sejak Nopember 1989 dengan pernyataan kedua pemimpin negara itu, menjadikan Yaman negara kesatuan. Keanggotaan Yaman di Liga Arab dan di PBB serta lembaga internasional lainnya hanya membawa nama satu Yaman, tanpa Utara dan Selatan. Presidennya adalah Kolonel (sekarang Jenderal) Ali Abdullah Saleh, sedangkan wakilnya mantan Presiden Yaman Selatan, Ali Al-Baidh.
Luas Yaman (setelah digabung) 481.740 km persegi, berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, berpenghasilan katun dan hasil pertanian. Semula di Yaman tidak ditemukan tambang minyak, namun 1984 perusahaan Hunt Oil dari Dallas, Amerika menemukana sumber minyak di Yaman Utara, tetapi belum memadai.
Berbicara mengenai Yaman, meskipun telah bergabung dibawah satu bendera Yaman, harus diklasifikasikan karena adanya pandangan politik berbeda sebelumnya. Andaikata Yaman belum berfusi, barangkali sikap Yaman Utara lebih banyak condong mendukung blok Arab Saudi ketimbang Yaman Selatan yang sempat diwarnai dengan faham sosialis pro Soviet. (Vide artikel penulis dalam majalah Panji Masyarakat No. 246, tahun ke XIX, tanggal 1 Mei 1978).
Mengenai sikap Yaman terhadap krisis Teluk, kiranya dapat dimengerti kenapa lebih condong berpihak mendukung Irak. Selain Yaman menjadi anggota Dewan Kerjasama Arab, pengaruh kepemimpinan Saddam cukup besar bagi Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh. Bantuan minyak Irak bagi Yaman (baca: Selatan) cukup potensil, ditambah bantuan penasehat militer dan senjata. Konon, di Yaman juga ada pangkalan rudal Irak, dan praduga ini harus dibuktikan lebih jauh, sebelum mengklaimnya. Mana tahu hanya sekedar isu menakuti-nakuti saja.
Hubungan Yaman dengan Arab Saudi selama ini cukup akrab, khususnya sikap serba toleransi Arab Saudi kepada Yaman (baca: Utara). Pekerja-pekerja Yaman mendapatkan kemudahan di Arab Saudi dan dapat tinggal tanpa batas. Bantuan di sektor ekonomi, jalan raya, pembangunan irigasi dan pertanian di Yaman cukup besar. Arab Saudi membiayai beberapa proyek di Sanaa. Bukan saja Arab Saudi, negara-negara Teluk (termasuk Kuwait) juga banyak memberikan bantuan keuangan memperbaiki ekonomi Yaman.
Negara Arab lain yang bersikap mendukung adalah Meuritania, sebuah negara di pantai Barat Arfika, seluas 1.085.210 km persegi, berpenduduk sekitar 2,2 juta jiwa, ibukotanya Nouakchoot. Meuritania bertetangga dengan Maroko dan Aljazair, sebuah negara berpadang pasir. Penduduknya kebanyakan bangsa Arab Berber yang suka hidup mengembara dan berpindah-pindah sebagai pengembala ternak dari suatu tempat ketempat lain. Negera ini terkenal dengan sengketanya dengan Maroko mengenai Sahara Barat dibawah Front Polisario. Meskipun negara ini tidak banyak muncul dalam percaturan politik dunia Arab, tetapi diperhitungkan juga sebagai anggota Liga Arab.
Palestina dibawah pimpinan Yasser Arafat jelas-jelas mendukung sikap Irak dalam menghadapi krisis Teluk. Yasser Arafat adalah teman baik Saddam Hussein, bahkan agak dekat. Dalam konteks ini pula Yasser Arafat terus terang menyatakan bahwa kepentingan bangsa Palestina tersangkut kepada bantuan Irak, Diatas sudah dikemukakan bahwa Baghdad menjadi tuan rumah KTT Arab khusus membahas masalah Palestina. Sikap Arafat ini memperkuat posisi Saddam Hussein dalam meneruskan invasinya di Kuwait.
Dengan sikap Yasser Arafat yang pro Irak, hubungannya dengan negara Arab lain dikecam pedas, andil dunia Arab bagi manifestasi perjuangan bangsa dan rakyat Palestina cukup besar, termasuk andil Kuwait. Di Kuwait sebenarnya banyak pengungsi Palestina bermukim, ada juga yang sudah menjadi warga negara Kuwait bahkan mendapat posisi penting dalam pemerintahan. Sayangnya, Kuwait secara umum memperlakukan warga Palestina penduduk kelas II yang dianggap tidak lebih dari seorang pelarian yang meminta suaka politik. Dapat juga dimengerti, kenapa beberapa hari setelah serbuan Irak ke Kuwait, sejumlah rakyat Palestina dimana-mana unjuk rasa memberikan dukungan kepada Irak.
Yassir Arafat pernah mengusulkan supaya Kuwait dijadikan Monaco kedua di Teluk Persia dibawah koordinator Irak. Usul ini membuat dunia Arab semakin berang kepada Arafat dan membuat kewibawaan, kepemimpinan, dan pamornya merosot pudar.
Tunisia, sebuah negara Arab lain di pantai laut Tengah, sejak semula bersikap absen. PLO dan pemerintahan sementara Palestina berpusat disana. Presiden Zainal Abidin Ali, ketika diundang Presiden Mubarak menghadiri KTT Istimewa tanggal 10 Agustus lalu di Cairo, ditampiknya dengan alasan tidak cukup waktu bagi mempersiapkan pembahasan krisis Teluk, untuk itu Presiden Tunisia meminta jadwal Sidang ditunda beberapa hari, yang akhirnya ditolak. Tunisia sama sekali absen dalam KTT tersebut, Buntutnya Sekjen Liga Arab asal Tunisia, Chadli Klibi diminta mengundurkan diri dari Liga Arab setelah 11 tahun dijabatnya. Luas wilayah 164.206 km persegi, berpenduduk sekitar 10 juta jiwa.
Semula Aljazair dan Lybia bersikap kontra terhadap invasi Irak ke Kuwait, tetapi kemudian tampaknya kedua negara itu bersikap lebih netral dan sangat hati-hati. Gaddafi berusaha menetralisir keadaan dengan mengemukakan usul supaya Irak dan Kuwait berunding langsung, kalau perlu untuk mengembalikan kedaulatan Kuwait yang sah harus mengorbankan dua pulau kecil kaya minyak yaitu Bubyan dan Warba kepada Irak atau mengabulkan permintaan hak sewa Irak.
Aljazair dan Lybia tampaknya begitu hati-hati mengambil sikap, karena berdasarkan kepada pengalaman perjuangan kedua negara tersbut.
KONTROVERSIAL
Dengan kehadiran pasukan Amerika dan sekutunya (bukan pasukan Arab dan beberapa negara Asia), di Arab Saudi menimbulkan masalah yang kontroversial. Praduga semula tentang kehadiran pasukan AS erat sangkut pautnya dengan mempertahankan kepentingan minyak di kawasan Teluk dari sekedar hanya menghadapi invasi Irak ke wilayah Arab Saudi. Dan ini pula yang menjadi alasan kuat bagi Presiden Saddam Hussein untuk tidak melepaskan Kuwait. Jangankan bersedia menarik pasukannya dari Kuwait, berundingpun brlum bersedia. Sikap Irak tetap tegar menolak semua tuntutan Arab dan PBB buat meninggalkan Kuwait tanpa syarat.
Arab Saudi terus mempesiapkan segala sesuatu untuk mempertahankan kedaulatannya dari ancaman Irak. Teluk Arab kini ramai dengan pasukan asing dan multinasional yang belum dapat dipastikan sampai kapan keberadaannya di kawasan.
Status-quo sekarang ini menjadikan pihak-pihak terkait berusaha mengkonsolidasikan diri menghadapi setiap kemungkinan. Keadaan ini tampaknya memang disengaja atau dengan kata lain sudah ada dalam skenario.
Negara-negara Arab yang mengecam invasi Irak Kuwait adalah semua negara Teluk Persia yang terdiri dari Arab Saudi, Bahrain, Uni Persatuan Emirat, Oman, Qatar dan Kuwait sendiri. Keenam negara ini adalah anggota Dewan Kerjasama Teluk semacam ASEAN. Berikutnya, Mesir, Suriah, Libanon, Somalia, Djibouti, Somalia dan Maroko.
Yang mengirim pasukan multinasional ke Arab Saudi adalah Mesir, Maroko dan Suriah.
Perpecahan dikalangan pemimpin Arab tampaknya semakin terus meruncing dan entah kapan selesainya, hanya waktulah yang menentukan dan Tuhan Yang Maha Tahu.***
Riyadh, 22 September 1990.
Note : Artikel ini dimuat Harian :
ANGKATAN BERSENJATA, edisi No. 8527, Thn XXVI, tgl 8 Oktober 1990.
Oleh : Zulharbi Salim
DARI krisis Teluk dapat diambil kesimpulan bahwa bangsa Arab telah menjadi bangsa terpecah belah dan tidak bersatu. Solidaritas Arab yang selama ini berkumandang dan diagung-agungkan sebagai simbol pemersatu menjadi ompong dan tercampak dari identitasnya. Apa yang disebut Qaumiyah (nasionalisme) Arab sudah tidak dapat membawakan perannya dan sudah kehilangan bentuk.
Baghdad sempat menjadi tuan rumah Sidang KTT Arab Istimewa pada tanggal 30 Mei 1990 lalu dan mendapat kesempatan mengorbitkan Saddam Hussein sebagai pemimpin Arab yang dianggap berhasil mengadakan negosiasi dengan Iran. Dia berhasil menciptakan status-quo dengan Iran setelah 8 tahun bertempur habis-habisan. Saddam mengumandangkan apa yang disebutqaumiyah Arab yang mesti dibina dan dijunjung tinggi.
KTT Istimewa tersebut, membahas masalah Palestina atas permintaan Presiden Palestina/Ketua PLO, Yassir Arafat, dihadiri oleh 19 negara Arab, Syria dan Libanon absen. Hasil KTT antara lain mengutuk pengungsi Yahudi Uni Soviet secara besar-besaran ke wilayah Palestina yang diduduki Israel, membantu perjuangan bangsa Palestina dan intifadah (revolusi batu). Menyerukan konvesi Taif bagi penyelesaian dalam negeri Libanon. Mempersatukan gerak dan langkah dalam rangka membina solidaritas Arab dan membentuk pertahanan bersama Pan Arabian.
Dalam pidato pembukaan KTT tersebut, Saddam Hussein dengan gaya seorang orator menyatakan ancaman serius yang dialamatkannya kepada Israel dan Amerika Serikat, yang disebutnya sebagai imperalis modern dengan mengatakan "jika Israel berani menyerang Irak dengan senjata nuklir, Irak akan membalas dengan serangan lebih dahsyat dan kami sanggup menghancurkan Israel, bangsa Arab tidak perlu takut" .
Belum lagi keputusan KTT Baghdad itu direalisir, khususnya mengenai pembinaan solidaritas Arab dan pertahanan keamanan bersama, dalam tenggang waktu hanya 2 bulan, pada tanggal 2 Agustus lalu secara mengejutkan Irak melakukan invasi ke Kuwait. Agaknya bagi pemimpin Irak antara pesatuan dan solidaritas Arab dengan penyerbuan ke Kuwait seperti tidak ada kaitan. Sebenarnya Saddam Hussein sudah mendapat kesempatan mengambil alih kepemimpinan bangsa Arab, ibaratnya " Karena nila setitik rusak susu sebelanga".
Akibatnya bukan saja merugikan perjuangan bangsa Palestina dan PLO, tetapi juga dunia Arab sendiri, bahkan menguntungkan Israel disatu pihak dan Iran dipihak lain. Iran yang selama 8 tahun menjadi musuh Irak, dapat mengambil manfaat dengan timbulnya krisis Teluk. Iran dapat menetralisir pertentangannya dengan Irak. Iran dalam hal ini seperti mendapatkandurian runtuh.. Saddam Hussein secara tidak diduga dan mengejutkan menarik pasukannya disepenjang perbatasan Shatt Al-Arab yang selama 8 tahun menjadi ajang sengketa dan pertempuran.
Bukan itu saja, Irak mengembalikan tawanan perang Iran dengan imbalan agar Iran menyerahkan sekitar 40.000 lebih tawanan Irak di Iran. Tawanan-tawanan ini begitu tiba di Irak, langsung ditempatkan di Kuwait dan disepanjang perbatasan Irak-Saudi.
SOLIDARITAS ATAU BENCANA
Masa depan negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah mendapatkan dampak lebih berat, akibat krisis Teluk Persia. Dampak tersebut dirasakan di sektor ekonomi dan kegoncangan perdagangan di dalam negeri. Tidak semua negara Arab penghasil tambang minyak. Yordania misalnya, sebuah negara terletak diutara Arab Saudi dan di Barat Irak, 60% menggantungkan minyaknya dari Irak yang dibeli Yordania dengan harga miring. Kini, negara yang luasnya 90.089 km persegi itu. (lebih luas sedikit dari propinsi Riau) berpenduduk sekitar 7 juta orang dengan ibukota Amman, adalah negara yang paling miskin tambang minyak, tetapi negara terbesar dalam hal penampungan pengungsi. Orang-orang Palestina mengungsi ke Yodania dan kini harus pula menambah dilemmanya dengan ribuan pengungsi dari Irak dan Kuwait.
Embargo ekonomi terhadap Irak yang ditetapkan DK PBB dengan terpaksa harus dilaksanakan Yordania, akibatnya 80% hasil pertanian dan industri Yordania yang selama ini di ekspor ke Irak menjadi terhenti. Harga tidak terkendali. Para pengungsi menyebabkan Yordania harus mencari dana tambahan. Arab Saudi tampil segera mensupply Yordania dengan minyak sebagai pengganti minyak Irak, dengan harga dibawah harga pasar. AS, Jepang dan MEE menyediakan dana buat menunjang ekonomi Yordania.
Adapun sikap Raja Hussein sendiri dalam krisis Teluk lebih condong ke Irak, meskipun tetap menyesalkan pencaplokan Kuwait. Raja Hussein absen dalam KTT Liga Arab di Cairo disebabkan Yordania adalah anggota Dewan Kerjasama Arab bersama Irak, Mesir dan Yaman. Mesir setelah krisis Teluk menyatakan menarik diri. Raja Hussein biasanya muncul sebagai figur yang menonjol dan selalu bersikap netral, tidak dapat mempertahankan sikap tersebut terhadap Irak. Sebabnya, selain anggota Dewan Kerjasama Arab juga karena faktor tekanan dari dalam negeri. Pendukung Saddam cukup potensiil di Yordania, ditambah dengan warga Palestina yang mencapai 35% penduduk Yordania. Negara ini banyak mendapatkan bantuan dari Amerika dan Inggris.
Untuk mempertahankan identitas, Raja Hussein berusaha bersikap agresif dengan mengadakan kunjungan ke Amerika dan Inggris menjelaskan situasi krisis Teluk. Sebelumnya, Raja Hussein berangkat dulu ke Baghdad. Tampaknya usaha-usaha tersebut berhasil juga menjadikan status quo di kawasan Teluk, selain itu Raja Hussein tanggal 20 September 1990 mengadakan KTT terbatas di Rabat dengan Raja Hassan II dan Presiden Chadli Benjedid. KTT terbatas tersebut mencoba menetralisir situasi dengan mengemukan berbagai pendapat untuk dapat membantu penyelesaian krisis dengan negosiasi dan menjauhi global disaster (bencana dunia). Ketiga pemimpin Arab tersebut mencoba mengajukan semboyan solidaritas Arab harus dijunjung tinggi.
ANTARA PRO DAN KONTRA
5 Negara Arab yang berada disepanjang Laut Merah, Mesir, Sudan,Yaman, Djibouti, dan Arab Saudi memiliki potensi arus lalu lintas laut, ditambah dengan Arab Saudi memiliki pula pelabuhan dan pantai di Teluk Persia. Arab Saudi khususnya memang menimbulkan iri hati Irak yang sama sekali tidak mempunyai pantai, selain yang terletak dimulut kota Basra, muara sungai Efrat dan Tigris. Keinginan memiliki pelabuhan bebas inilah yang menjadi salah satu sebab pendudukan Irak di Kuwait, memenuhi ambisi Presiden Saddam.
Menanggapi terjadinya krisis Teluk akibat penyerbuan Irak ke Kuwait, tampaknya tidak semua negara Arab menentangnya, ada yang terang-terangan mendukung, ada pula bersikap menahan diri dan absen disamping ada yang mengutuknya. Antara pro dan kontra ini agaknya termasuk ciri-ciri khas bangsa Arab. Berikut ini beberapa negara yang mendukung Irak.
Menjadi pertanyaan bagi pengamat masalah Timur Tengah, kenapa Sudan bersikap apatis dibawah kepemimpinan Jenderal Omar Basyir? Basyir lebih condong mengikuti pola-pola pemikiran Saddam dan Gaddafi dan karena itu pula mendukung tindakan Saddam dan memboikot Sidang KTM dan KTT Liga Arab membicarakan krisis Teluk. Persoalannya menyangkut jasa baik Presiden Irak yang memberikan bantuan senjata dan amunisi kepada Sudan dalam menghadapi pemberontakan John Garang di Sudan Selatan.
Kolumnis harian Asharq Al-Awsat , Sir Sidehmed, edisi 15 September 1990 menulis mengenai sikap Sudan, tidak hadirnya Sudan dalam Sidang KTM Liga Arab di Cairo membuat posisi negara ini terjepit antara dua kepentingan. Hubungannya dengan Irak dan hubungannya dengan Arab Saudi. Ketika Raja Fahd meminta Sudan mengirimkan bantuan pasukan bergabung dengan pasukan multinasional di wilayah Saudi, ditampik dengan alasan adanya pasukan Amerika dan sekutunya (asing) di Arab Saudi. Sudan selama ini mengalami berbagai goncangan di dalam negeri diantara pemberontakan di Selatan dan percobaan penggulingan kekuasaan. Usaha kup ini gagal dan 28 perwira menengah Sudan dihukum mati. Kemelut lain adalah akibat banjir besar tahun lalu menyebabkan ribuan rakyat Sudan mati kelaparan. Disaat itu, muncullah bantuan sandang dan pangan dari Raja Fahd. Keadaan ini mestinya dipikirkan oleh pemimpin Sudan.
Sudan yang terletak di Selatan Mesir dan berhadapan langsung dengan Saudi di Timur (hanya dipisahkan Laut Merah), mempunyai area seluas 2.504.530 km persegi, terluas di Afrika dan termasuk negara ke-9 terluas didunia, berpenduduk sekitar 24. 500. 000 jiwa , ibukotanya Khartoum.
Sudan berpenduduk berlainan suku, di utara Arab dan di selatan Negro perbedaan suku sering menimbulkan kerusuhan rasial telah memporak-porandakan negara itu, berbagai pemberontakan timbul, guling-menggulingkan kekuasan berjalan terus dan ekonomi semakin parah. Presiden Jaafar Numeiri yang menjadi Presiden tahun 1971 dapat memperbaiki ekonomi dalam negeri secara bertahap tetapi menjalankan kekuasaan tangan besi. Korupsi dimana-mana. Dia digulingkan Jenderal Abdurrahman Siwareddahab tanggal 6 April 1971, Numeiri lari ke Mesir. Pemerintahan Siwareddahab dapat menetralisir keadaan dalam negeri dan mengembalikan kehidupan politik dengan memunculkan kembali parpol-parpol.
Kemudian menyerahkan kekuasaan kepada Presiden terpilih Sadiq Al-Mahdi tahun 1986. Tampaknya kehidupan partai di Sudan tidak membawa perobahan, muncullah Jenderal Omar Basyir menggulingkan Mahdi tahun 1989.
Sikap pemerintah Sudan terhadap krisis Teluk tampaknya lebih condong memihak Irak, karena ada unsur-unsur kesamaan pemikiran antara Jenderal Basyir dengan Presiden Saddam Hussein. Salah satu pers Barat mengungkapkan adanya Radar dan Rudal Irak ditempatkan di wilayah Sudan menghadap ke Timur (Arab Saudi), cukup membuat Raja Fahd berang.
YAMAN
Yaman dahulunya terdiri dari Yaman Utara dengan ibukota Sanaa dan Yaman Selatan dengan ibukota Aden. Peta Yaman berobah sejak Nopember 1989 dengan pernyataan kedua pemimpin negara itu, menjadikan Yaman negara kesatuan. Keanggotaan Yaman di Liga Arab dan di PBB serta lembaga internasional lainnya hanya membawa nama satu Yaman, tanpa Utara dan Selatan. Presidennya adalah Kolonel (sekarang Jenderal) Ali Abdullah Saleh, sedangkan wakilnya mantan Presiden Yaman Selatan, Ali Al-Baidh.
Luas Yaman (setelah digabung) 481.740 km persegi, berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, berpenghasilan katun dan hasil pertanian. Semula di Yaman tidak ditemukan tambang minyak, namun 1984 perusahaan Hunt Oil dari Dallas, Amerika menemukana sumber minyak di Yaman Utara, tetapi belum memadai.
Berbicara mengenai Yaman, meskipun telah bergabung dibawah satu bendera Yaman, harus diklasifikasikan karena adanya pandangan politik berbeda sebelumnya. Andaikata Yaman belum berfusi, barangkali sikap Yaman Utara lebih banyak condong mendukung blok Arab Saudi ketimbang Yaman Selatan yang sempat diwarnai dengan faham sosialis pro Soviet. (Vide artikel penulis dalam majalah Panji Masyarakat No. 246, tahun ke XIX, tanggal 1 Mei 1978).
Mengenai sikap Yaman terhadap krisis Teluk, kiranya dapat dimengerti kenapa lebih condong berpihak mendukung Irak. Selain Yaman menjadi anggota Dewan Kerjasama Arab, pengaruh kepemimpinan Saddam cukup besar bagi Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh. Bantuan minyak Irak bagi Yaman (baca: Selatan) cukup potensil, ditambah bantuan penasehat militer dan senjata. Konon, di Yaman juga ada pangkalan rudal Irak, dan praduga ini harus dibuktikan lebih jauh, sebelum mengklaimnya. Mana tahu hanya sekedar isu menakuti-nakuti saja.
Hubungan Yaman dengan Arab Saudi selama ini cukup akrab, khususnya sikap serba toleransi Arab Saudi kepada Yaman (baca: Utara). Pekerja-pekerja Yaman mendapatkan kemudahan di Arab Saudi dan dapat tinggal tanpa batas. Bantuan di sektor ekonomi, jalan raya, pembangunan irigasi dan pertanian di Yaman cukup besar. Arab Saudi membiayai beberapa proyek di Sanaa. Bukan saja Arab Saudi, negara-negara Teluk (termasuk Kuwait) juga banyak memberikan bantuan keuangan memperbaiki ekonomi Yaman.
Negara Arab lain yang bersikap mendukung adalah Meuritania, sebuah negara di pantai Barat Arfika, seluas 1.085.210 km persegi, berpenduduk sekitar 2,2 juta jiwa, ibukotanya Nouakchoot. Meuritania bertetangga dengan Maroko dan Aljazair, sebuah negara berpadang pasir. Penduduknya kebanyakan bangsa Arab Berber yang suka hidup mengembara dan berpindah-pindah sebagai pengembala ternak dari suatu tempat ketempat lain. Negera ini terkenal dengan sengketanya dengan Maroko mengenai Sahara Barat dibawah Front Polisario. Meskipun negara ini tidak banyak muncul dalam percaturan politik dunia Arab, tetapi diperhitungkan juga sebagai anggota Liga Arab.
Palestina dibawah pimpinan Yasser Arafat jelas-jelas mendukung sikap Irak dalam menghadapi krisis Teluk. Yasser Arafat adalah teman baik Saddam Hussein, bahkan agak dekat. Dalam konteks ini pula Yasser Arafat terus terang menyatakan bahwa kepentingan bangsa Palestina tersangkut kepada bantuan Irak, Diatas sudah dikemukakan bahwa Baghdad menjadi tuan rumah KTT Arab khusus membahas masalah Palestina. Sikap Arafat ini memperkuat posisi Saddam Hussein dalam meneruskan invasinya di Kuwait.
Dengan sikap Yasser Arafat yang pro Irak, hubungannya dengan negara Arab lain dikecam pedas, andil dunia Arab bagi manifestasi perjuangan bangsa dan rakyat Palestina cukup besar, termasuk andil Kuwait. Di Kuwait sebenarnya banyak pengungsi Palestina bermukim, ada juga yang sudah menjadi warga negara Kuwait bahkan mendapat posisi penting dalam pemerintahan. Sayangnya, Kuwait secara umum memperlakukan warga Palestina penduduk kelas II yang dianggap tidak lebih dari seorang pelarian yang meminta suaka politik. Dapat juga dimengerti, kenapa beberapa hari setelah serbuan Irak ke Kuwait, sejumlah rakyat Palestina dimana-mana unjuk rasa memberikan dukungan kepada Irak.
Yassir Arafat pernah mengusulkan supaya Kuwait dijadikan Monaco kedua di Teluk Persia dibawah koordinator Irak. Usul ini membuat dunia Arab semakin berang kepada Arafat dan membuat kewibawaan, kepemimpinan, dan pamornya merosot pudar.
Tunisia, sebuah negara Arab lain di pantai laut Tengah, sejak semula bersikap absen. PLO dan pemerintahan sementara Palestina berpusat disana. Presiden Zainal Abidin Ali, ketika diundang Presiden Mubarak menghadiri KTT Istimewa tanggal 10 Agustus lalu di Cairo, ditampiknya dengan alasan tidak cukup waktu bagi mempersiapkan pembahasan krisis Teluk, untuk itu Presiden Tunisia meminta jadwal Sidang ditunda beberapa hari, yang akhirnya ditolak. Tunisia sama sekali absen dalam KTT tersebut, Buntutnya Sekjen Liga Arab asal Tunisia, Chadli Klibi diminta mengundurkan diri dari Liga Arab setelah 11 tahun dijabatnya. Luas wilayah 164.206 km persegi, berpenduduk sekitar 10 juta jiwa.
Semula Aljazair dan Lybia bersikap kontra terhadap invasi Irak ke Kuwait, tetapi kemudian tampaknya kedua negara itu bersikap lebih netral dan sangat hati-hati. Gaddafi berusaha menetralisir keadaan dengan mengemukakan usul supaya Irak dan Kuwait berunding langsung, kalau perlu untuk mengembalikan kedaulatan Kuwait yang sah harus mengorbankan dua pulau kecil kaya minyak yaitu Bubyan dan Warba kepada Irak atau mengabulkan permintaan hak sewa Irak.
Aljazair dan Lybia tampaknya begitu hati-hati mengambil sikap, karena berdasarkan kepada pengalaman perjuangan kedua negara tersbut.
KONTROVERSIAL
Dengan kehadiran pasukan Amerika dan sekutunya (bukan pasukan Arab dan beberapa negara Asia), di Arab Saudi menimbulkan masalah yang kontroversial. Praduga semula tentang kehadiran pasukan AS erat sangkut pautnya dengan mempertahankan kepentingan minyak di kawasan Teluk dari sekedar hanya menghadapi invasi Irak ke wilayah Arab Saudi. Dan ini pula yang menjadi alasan kuat bagi Presiden Saddam Hussein untuk tidak melepaskan Kuwait. Jangankan bersedia menarik pasukannya dari Kuwait, berundingpun brlum bersedia. Sikap Irak tetap tegar menolak semua tuntutan Arab dan PBB buat meninggalkan Kuwait tanpa syarat.
Arab Saudi terus mempesiapkan segala sesuatu untuk mempertahankan kedaulatannya dari ancaman Irak. Teluk Arab kini ramai dengan pasukan asing dan multinasional yang belum dapat dipastikan sampai kapan keberadaannya di kawasan.
Status-quo sekarang ini menjadikan pihak-pihak terkait berusaha mengkonsolidasikan diri menghadapi setiap kemungkinan. Keadaan ini tampaknya memang disengaja atau dengan kata lain sudah ada dalam skenario.
Negara-negara Arab yang mengecam invasi Irak Kuwait adalah semua negara Teluk Persia yang terdiri dari Arab Saudi, Bahrain, Uni Persatuan Emirat, Oman, Qatar dan Kuwait sendiri. Keenam negara ini adalah anggota Dewan Kerjasama Teluk semacam ASEAN. Berikutnya, Mesir, Suriah, Libanon, Somalia, Djibouti, Somalia dan Maroko.
Yang mengirim pasukan multinasional ke Arab Saudi adalah Mesir, Maroko dan Suriah.
Perpecahan dikalangan pemimpin Arab tampaknya semakin terus meruncing dan entah kapan selesainya, hanya waktulah yang menentukan dan Tuhan Yang Maha Tahu.***
Riyadh, 22 September 1990.
Note : Artikel ini dimuat Harian :
ANGKATAN BERSENJATA, edisi No. 8527, Thn XXVI, tgl 8 Oktober 1990.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar