Kamis, 04 Juni 2009
Kisah Keluarga Asmarinda Pabalutan
Kisah Keluarga Asmarida, Warga Pabalutan Rambatan
Dua Puteranya Lumpuh, Pernah Digendong ke Sekolah
Direlise oleh PPI-India
Oleh Admin Padek 1
Sabtu, 30-Juli-2005, 11:54:207
Tidak bisa dipungkiri. Bahagia dan sedih merupakan romantika kehidupan yang harus dilalui setiap insan. Ketika kebahagiaan ditutupi kedukaan, hanya penyerahan diri kepadaNya, satu-satunya obat pelipur lara, sebab, hal itu bagian dari ujian Allah kepada hambanya.
Hal itu pula yang kini dilalui Keluarga Asmarida (44 th) warga Pabalutan Rambatan Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanahdatar.
Walaupun terasa pahit tapi liku-liku kehidupan itu harus dilaluinya dengan penuh ketabahan. Terkadang ada rasa dalam batinnya, tak siap menerima kenyataan hidup yang harus dilaluinya. Dua dari tiga orang anaknya, Afrianto (12 th) dan Agus (10 th), kini menderita kelumpuhan. Sedangkan si sulung, Eva kini menjadi siswa kelas II SMP.
Kepedihan makin tak terkira ketika dua anaknya yang malang tersebut terpaksa harus ditinggalkan di rumah lantaran Asmarida harus banting tulang mencari sesuap nasi untuk kehidupan anak-anaknya. Suaminya, Asril (52), meninggal dunia lima tahun silam.
Ketika Asmarida bekerja, kedua anaknya yang lumpuh hanya dapat menatap kehidupan teman-temannya dengan tatapan hampa, padahal sebelum kelumpuhan itu menyerang, keduanya sempat menikmati pendidikan di SD Bukit Sangok. Disaat masih sekolah, keduanya termasuk anak yang pintar, yang dibuktikan dari rapor dan pengakuan para guru mereka.
Perihal penderitaan Afrianto, suatu ketika di tahun 2002, sepulang sekolah ia berjalan tertatih-tatih.Ketika ditanya penyebabnya, Afrianto pun tak mengetahuinya. Ia mengaku tak pernah jatuh.
Ketika dia pulang kaki terasa sakit dan jalannya seperti merangkak-rangkak. Melihat kondisi itu, dicobalah mengobati anaknya tersebut ke puskesmas, tapi tidak mengalami perubahan.Malahan kemudian anaknya tidak bisa lagi berjalan.
Akhirnya dia coba membawa anaknya berobat ke dukun kampung, juga tak mengalami kemajuan, bahkan sempat pula membawa anaknya tersebut berobat ke dokter syaraf di Bukittinggi, tapi hanya satu kali sebab biaya untuk pengobatan anaknya tersebut dia tidak punya.
Apalagi setelah suaminya meninggal, dia sendirilah yang bekerja mengambil upah di sawah. Upah yang diterimanya cukup untuk biaya makan sehari-hari saja. Rumah yang ditempati sekarang berasal dari pemberian keluarga.
Asmarida berkeinginan agar anaknya tetap bersekolah, sehingga masa depannya tak suram dikemudian hari. Dalam kondisi kelumpuhan itu, Afrizon tetap sekolah.
Untuk sampai ke sekolah dan kembali pulang, Asmarida terpaksa menggendongnya.
Semua penderitaan dan rutinitas itu berlangsung tanpa henti. Hanya saja, selang setahun kemudian, penderitaannya bertambah. Kini giliran anak ketiganya yang saat itu baru duduk di kelas I SD mengalami hal yang sama.
Suatu ketika, sepulang sekolah, Agus berjalan sempoyongan, tertatih-tatih. Persis yang dialami kakannya, setahun sebelumnya. Berbagai upaya dilakukan, namun kesembuhan yang diharapkan tak jadi kenyataan. Kini, Asmarida hanya pasrah menatap masa depannya bersama ketiga anaknya.
Keadaan itu terlihat sekali Ketika Koran ini berkunjung ke rumahnya di Jorong Pabalutan walaupun sedikit mengejutkan Asmidar,apalagi saat ini dia sedang memandikan kedua anak-anaknya yang lumpuh tersebut dengan penuh kasih sayang dimuka rumahnya tapi setelah menjelaskan kedatanganya mendengar informasi kelumpuhan dua putera tersebut, barulah dia memahami, malah dengan nada sabak dan sedih mereka menuturkan awal perjalanan kehidupan putera tersebut sehingga mengalami kelumpuhan.
"Saya tak pernah menduga dua putra saya lumpuh mendadak," jelasnya ketika memandikan kedua anaknya tersebut. (mal)
http://www.padangekspres.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=3772
Dua Puteranya Lumpuh, Pernah Digendong ke Sekolah
Direlise oleh PPI-India
Oleh Admin Padek 1
Sabtu, 30-Juli-2005, 11:54:207
Tidak bisa dipungkiri. Bahagia dan sedih merupakan romantika kehidupan yang harus dilalui setiap insan. Ketika kebahagiaan ditutupi kedukaan, hanya penyerahan diri kepadaNya, satu-satunya obat pelipur lara, sebab, hal itu bagian dari ujian Allah kepada hambanya.
Hal itu pula yang kini dilalui Keluarga Asmarida (44 th) warga Pabalutan Rambatan Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanahdatar.
Walaupun terasa pahit tapi liku-liku kehidupan itu harus dilaluinya dengan penuh ketabahan. Terkadang ada rasa dalam batinnya, tak siap menerima kenyataan hidup yang harus dilaluinya. Dua dari tiga orang anaknya, Afrianto (12 th) dan Agus (10 th), kini menderita kelumpuhan. Sedangkan si sulung, Eva kini menjadi siswa kelas II SMP.
Kepedihan makin tak terkira ketika dua anaknya yang malang tersebut terpaksa harus ditinggalkan di rumah lantaran Asmarida harus banting tulang mencari sesuap nasi untuk kehidupan anak-anaknya. Suaminya, Asril (52), meninggal dunia lima tahun silam.
Ketika Asmarida bekerja, kedua anaknya yang lumpuh hanya dapat menatap kehidupan teman-temannya dengan tatapan hampa, padahal sebelum kelumpuhan itu menyerang, keduanya sempat menikmati pendidikan di SD Bukit Sangok. Disaat masih sekolah, keduanya termasuk anak yang pintar, yang dibuktikan dari rapor dan pengakuan para guru mereka.
Perihal penderitaan Afrianto, suatu ketika di tahun 2002, sepulang sekolah ia berjalan tertatih-tatih.Ketika ditanya penyebabnya, Afrianto pun tak mengetahuinya. Ia mengaku tak pernah jatuh.
Ketika dia pulang kaki terasa sakit dan jalannya seperti merangkak-rangkak. Melihat kondisi itu, dicobalah mengobati anaknya tersebut ke puskesmas, tapi tidak mengalami perubahan.Malahan kemudian anaknya tidak bisa lagi berjalan.
Akhirnya dia coba membawa anaknya berobat ke dukun kampung, juga tak mengalami kemajuan, bahkan sempat pula membawa anaknya tersebut berobat ke dokter syaraf di Bukittinggi, tapi hanya satu kali sebab biaya untuk pengobatan anaknya tersebut dia tidak punya.
Apalagi setelah suaminya meninggal, dia sendirilah yang bekerja mengambil upah di sawah. Upah yang diterimanya cukup untuk biaya makan sehari-hari saja. Rumah yang ditempati sekarang berasal dari pemberian keluarga.
Asmarida berkeinginan agar anaknya tetap bersekolah, sehingga masa depannya tak suram dikemudian hari. Dalam kondisi kelumpuhan itu, Afrizon tetap sekolah.
Untuk sampai ke sekolah dan kembali pulang, Asmarida terpaksa menggendongnya.
Semua penderitaan dan rutinitas itu berlangsung tanpa henti. Hanya saja, selang setahun kemudian, penderitaannya bertambah. Kini giliran anak ketiganya yang saat itu baru duduk di kelas I SD mengalami hal yang sama.
Suatu ketika, sepulang sekolah, Agus berjalan sempoyongan, tertatih-tatih. Persis yang dialami kakannya, setahun sebelumnya. Berbagai upaya dilakukan, namun kesembuhan yang diharapkan tak jadi kenyataan. Kini, Asmarida hanya pasrah menatap masa depannya bersama ketiga anaknya.
Keadaan itu terlihat sekali Ketika Koran ini berkunjung ke rumahnya di Jorong Pabalutan walaupun sedikit mengejutkan Asmidar,apalagi saat ini dia sedang memandikan kedua anak-anaknya yang lumpuh tersebut dengan penuh kasih sayang dimuka rumahnya tapi setelah menjelaskan kedatanganya mendengar informasi kelumpuhan dua putera tersebut, barulah dia memahami, malah dengan nada sabak dan sedih mereka menuturkan awal perjalanan kehidupan putera tersebut sehingga mengalami kelumpuhan.
"Saya tak pernah menduga dua putra saya lumpuh mendadak," jelasnya ketika memandikan kedua anaknya tersebut. (mal)
http://www.padangekspres.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=3772
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar