Selasa, 02 Juni 2009
Ambisi Irak Mencaplok Kuwait
Ambisi Irak Mencaplok Kuwait
Oleh : Zulharbi Salim
Timbulnya krisis Teluk Arab disebabkan Irak sudah lama berambisi menduduki Kuwait. Perselisihan sekarang ini adalah yang ketiga kali dalam sejarah konflik kedua negara sejak Kuwait merdeka tahun 1961. Yang pertama pertikaian terjadi setelah Kuwait merdeka tahun 1961, dan yang kedua adalah tahun 1973.
Menelusuri timbulnya pertentangan Irak-Kuwait cukup panjang dan memerlukan studi tersendiri. Berikut ini akan dikemukakan sepintas kenapa Irak berambisi menduduki Kuwait?
Sejak tahun 1940 tapal batas Irak dengan Kuwait sudah tidak menjadi masalah dalam hubungan bertentangga dan berjalan mulus. Hakikat terjadinya perselisihan karena ambisi pribadi dan politik serta pertentangan pendapat yang berkepanjangan dan saling tuduh tanpa dasar hukum.
Perselisihan Tahun 1961
Kuwait memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tanggal 19 Juni 1961. Persetujuan 4 fasal Inggris-Kuwait menyebutkan membatalkan perjanjian tanggal 23 Januari 1899, dimana isi perjanjian tersebut tidak sesuai lagi dengan kedaulatan Kuwait. Melanjutkan hubungan kerjasama kedua negara dengan semangat persahabatan. Membicarakan pembinaan hubungan bilateral dan kesediaan Inggris membantu pemerintah Kuwait apabila diperlukan.
Perjanjian menekankan menjadi hak Kuwait mendirikan pemerintahan tersendiri tanpa campur tangan Inggris mengurus dan menentukan urusan dalam dan luar negeri, menetapkan mata uang nasional Kuwait, keikutsertaan Kuwait dalam berbagai organisasi regional dan internasional. Inggris mengakui kemerdekaan Kuwait dengan kedaulatan yang penuh dan sah.
25 Juni 1961, Perdana Menteri Irak, waktu itu dipegang Jenderal Abdul Karim Kasim mengadakan konperensi pers di Baghdad yang menyatakan "Kuwait adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Irak". Pemerintah Republik Irak sama sekali tidak mengakui perjanjian tahun 1899 karena perjanjian itu palsu. Tidak ada hak bagi orang-orang Kuwait atau orang-orang asing menentukan pemerintahan rakyat Kuwait yang hakikatnya adalah rakyat Irak. Pemerintah Irak menetapkan untuk melindungi rakyat Kuwait dari penjajahan dan boneka Inggris dan tidak akan mengakui kedaulatan Kuwait.
Jenderal Kasim menunjuk seorang Sheikh dari Basra untuk menjadi Gubernur Kuwait. Pemerintah Irak tanggal 26 Juni 1991 menyampaikan nota kepada seluruh Kedutaan Besar Arab dan Asing di Baghdad memberitahukan bahwa "Kuwait adalah bagian dari Irak, yang termasuk wilayah Basra sejak zaman pemerintahan Otoman sampai pecahnya perang dunia pertama".
Sejak abad ke-14 penjahahan Inggris untuk kepentingan militer dan ekonominya berusaha dengan segala cara mencaplok negara-negara Arab. Inggris menguasai beberapa negara Arab sampai ke lautan India, termasuk wilayah strategis di Teluk Persia dan Kuwait salah satu yang dikuasai dan memisahkannya dari Irak.
Pemerintah Kuwait membantah tuduhan Irak bahwa Kuwait telah digadaikan Inggris kepada Turki dan meminta Arab Saudi turun tangan memberikan bantuan militer untuk melindungi pemerintahan dan kemerdekaannya. Kuwait juga meminta bantuan Inggris mengirimkan pasukannya. Kuwait memberitahukan Liga Arab dan PBB tentang ancaman Irak dan menuntut DK PBB bersidang untuk memberikan perlindungan kepada Kuwait. Dipihak lain Irak mengusulkan pula DK PBB bersidang untuk mengusir tentara Inggris dari Kuwait. Mulailah pertentangan tajam antara Irak-Kuwait yang mengancam keamanan kedaulatan kedua negara.
Tanggal 2-7 Juli 1961 Dewan Keamanan PBB bersidang membahas sengketa kedua negara. Irak menolak tuntutan Kuwait dengan alasan bahwa Kuwait bukanlah negara berdaulat sesuai dengan piagam PBB fasal 35/2. Tidak ada yang mendukung Irak selain Uni Soviet. Irak menyatakan tidak akan mempergunakan kekuatan militer untuk merebut Kuwait dan akan menempuh cara damai di meja perundingan, Sidang tidak menghasilkan suatu keputusan. Inggris kemudian tampil dengan rancangan resolusi meminta pengakuan terhadap kedaulatan dan kemerdekaan Kuwait. Menyerukan Liga Arab ikut serta menyelesaikan permasalahan dengan cara damai. Rancangan resolusi Inggris tidak berhasil karena di veto Uni Soviet. Tetapi dalam veto itu tidak disebutkan supaya pasukan Inggris ditarik dari Kuwait sebagaimana yang diusulkan oleh Mesir.
Liga Arab
Ditingkat Liga Arab, para Menteri Luar Negeri Liga Arab mengadakan Sidang Darurat atas permintaan Arab Saudi yang mengusulkan pengakuan Liga Arab terhadap kedaulatan Kuwait dan diterima menjadi anggota baru. Membicarakan ancaman Irak terhadap kemerdekaan Kuwait. Sidang gagal, tidak menghasilkan suatu keputusan. Ditetapkan supaya Sekjen Liga Arab mempelajari situasi di lapangan dengan melakukan pembicaraan dengan pemerintah Irak, Kuwait dan Arab Saudi.
Pada tanggal 20 Juli 1961 Liga Arab mengeluarkan pernyataan
menyerukan kepada Kuwait untuk memulangkan pasukan Inggris dari Kuwait dalam waktu sesingkat mungkin. Menyerukan Irak supaya tidak mengadakan serangaan militer terhadap Kuwait dan membicarakannya melalui meja perundingan. Mendukung keinginan Kuwait untuk berdiri dalam pemerintahannya atau bergabunng dengan salah satu negara Arab. Mengakui dan menerima Kuwait menjadi anggota penuh Liga Arab dan mendukung Kuwait menjadi anggota PBB. Liga Arab menganjurkan kepada anggotanya untuk memberikan bantuan sepenuhnya bagi terjaminnya kemerdekaan Kuwait seuai dengan permintaan Kuwait dan menugasi Sekjen Liga Arab melaksanakan setiap keputusan.
Memberikan jaminan terhadap kedaulatan dan kemerdekaan Kuwait diiringi dengan pembentukan pasukan keamanan Liga Arab dibawah pengawasan Sekjen Liga Arab dengan wewenang membentuk pasukan gabungan yang terdiri dari 4.000 tentara. Mesir, Arab Saudi dan Yordania menyediakan masing-masing 1000 tentara, Sudan dan Tunisia masing-masing 500 tentara. Komandan pasukan dipilih dari Arab Saudi.
Dengan demikian ancaman Irak berakhir dengan tibanya pasukan keamanan Liga Arab di Kuwait. Pasukan gabungan Arab ini tidak berlangsung lama, pada tanggal 12 Oktober 1961 Mesir menarik pasukannya disebabkan krisis hubungan Mesir-Syria yang waktu itu bersatu dibawah bendera Republik Persatuan Arab. Hubungan Mesir dengan Yordania dan Arab Saudi menjadi renggang pula. Pada bulan Januari 1962 Arab Saudi dan Yordania menarik pasukannya pula yang kemudian disusul Sudan dan Tunisia.
Setelah Jenderal Abdul Karim Kasim meninggal sewaktu kudeta 1963, Irak mengakui kemerdekaan Kuwait. Menghormati perjanjian border (tapal batas) kedua negara yang ditanda tangani tanggal 21 Juli 1932 dan direfisi 10 Agustus 1932 antara Perdana Menteri Irak dan Emir Kuwait.
Pada tanggal 12 Oktober 1963 Kuwait memberikan pinjaman tanpa bunga kepada Irak sebesar 30 juta Dinar. Sejak Abdul Salam Arif memegang pemerintahan di Irak, hubungannya dengan Kuwait berjalan lancar, mulus dan mesra sampai terjadi keretakan pada tahun l972.
Menurut pakar sejarah Teluk Arab (Persia), pemikiran para pemimpin Irak sering berobah dari satu saat ke saat lain. Kefanatikan terhadap kemegahan masa jaya Kerajaan Otoman (Othmaniyah) di Baghdad menuntut penyatuan antara Irak dengan Kuwait tetap menjadi momok berkepanjangan. Dikaitkan dengan sejarah Irak yang Agung, motifasi penggambungan Kuwait muncul kepermukaan. Abdul Karim Kasim menyerukan kembali untuk menggabungkan Kuwait kepada Irak dengan cara integrasi. Para pakar mengemukankan alasan yang berbeda-beda sbb :
1. Bertujuan untuk menghalangi Kuwait melakukan kerjasama atau bergabung
dengan Arab Saudi dengan cara bagaimanapun.
2. Pemimpin Irak bermaksud mengajak Kuwait megikuti pola-pola pemerintahan Irak dan melakukan penyatuan seperti halnya penyatuan Mesir, Syria dan Lybia waktu itu. Tidak ada niat Irak mempergunakan aksi bersenjata dalam hal ini. Integrasi ini diusahakan melalui integrasi massa yang dikoordinasikan oleh kader-kader Partai Baath yang sosialis. Usaha ini ditampik Kuwait.
3. Jenderal Kasim sebenarnya tidak serius melakukan seruan integrasi dengan Kuwait, tetapi dilakukannya juga atas desakan anggota Dewan Revolusi yang sudah mulai pecah dari dalam. Sementara pembangkang Kurdi yang beroposisi dengan pemerintah Irak menuntut kemerdekaan. Untuk menjaga wibawa dimata stafnya, dengan berat hati Jenderal Kasim menerima usul rencana penggabungan Kuwait.
Pertikain Tahun 1973
Irak dalam tahun tujuh puluhan mulai kembali mengusik Kuwait dengan membangkitkan pertikaian mengenai tapal batas dan berusaha memperoleh kembali dua buah pulau yang terletak di Teluk Arab, tidak jauh dari Al-Fao di wilayah Irak. Mengenai sengketa kedua pulau tersebut diadakan pembicaraan antara tahun 1963-1973, khususnya sejak meletusnya perang Irak-Iran karena perselihan mengenai Shaat Al-Arab. Pada bulan Maret 1973, Irak mencoba menduduki wilayah sengketa dan kemudian menarik diri setelah adanya tekanan-tekanan dari Liga Arab.
Disini terdapat kesamaan dan perbedaan pertikaian antara Irak-Kuwait dalam tahun enam puluhan dan tujuh puluhan. Persamaannya terletak dalam bidang politik, ekonomi dan strategi militer.
1. Irak mulai berorientasi ke Moskow dengan menjalin hubungan bilateral yang lebih akrab, termasuk kerjasama militer. Irak bermaksud membangun pangkalan Angkatan Laut atas bantuan Uni Soviet, tetapi terbentur karena Irak tidak mempunyai pelabuhan yang memadai untuk menggelar Angkatan Lautnya di pantai Teluk Persia. Teritorial perairan yang sempit untuk mengadakan latihan-latihan. Pantai yang dimiliki Irak tak lebih dari 36 mil (sekitar 57 km). Irak berambisi menguasai sebagian pantai Shaat El-Arab yang telah menjadi ajang pertempuran selama 8 tahun dengan Iran dan berambisi pula menguasai pulau dan wilayah Kuwait guna merealisasi cita-cita pembangunan pangkalan AL yang kuat.
2. Pertentangan Irak-Kuwait didukung dengan jalinan hubungan baik Kuwait-Iran dan semakin memburuknya hubungan Irak-Iran. Rasa iri menjadikan Irak terus penasaran mewujudkan pangkalan AL di Teluk untuk menandingi AL Iran yang kuat. Kuwait dengan Iran dapat menyelesaikan masalah perbatasan lautnya di Teluk Persia tanpa hambatan. Akibatnya persetujuan Kuwait-Iran ini pulalah yang menyulut kemarahan Irak dan menyebabkan perang dengan Iran berkobar.
3. Irak tidak menginginkan Iran mempunyai Angkatan Laut yang kuat di Teluk. Memang jumlah AL Iran jauh lebih kuat dari AL Irak. Iran dapat dengan leluasa bergerak di Teluk sampai keperairan Kuwait mengawasi lalu lintas kapal-kapal perang dan tanker Irak.
4. Keputusan Irak menasionalisasikan perusahaan minyak swasta "Iraq Petroleum" menunjukkan bahwa pemerintah Irak sudah kesulitan dalam mengelola minyak bagi keperluan dalam negeri yang berarti kurangnya devisa dari minyak, sedangkan biaya untuk perang dengan Iran membutuhkan lebih banyak. Untuk itu, Irak melirik ketetangganya di Selatan yang kaya-raya dengan sumber minyak yaitu Kuwait. Irak sangat berambisi menguasai sumber minyak Kuwait yang strategis dan amat penting.
Perselisihan Irak-Kuwait antara tahun 1961 dan 1973 berkisar sekitar usaha Irak mencaplok Kuwait dengan berbagai dalih dan alasan. Dan perbedaan pendapat yang lain adalah mengenai tapal batas. Diantara wilayah perbatasan yang menjadi sebab malapetaka kedua negara adalah perbatasan di Wadi Al-Batin sepanjang 45 km sebagai garis pemisah, perbatasan dekat lembah Safwan sejauh 1,6 km, wilayah Al-Samita sepanjang 8 km yang terletak di mulut pelabuhan Ummul Kasr, dimana Irak membangun pangkalan AL dan pemuatan kapal Tanker Irak. Daerah ini sangat kaya dengan minyak dan perselisihan mengenai perairan pulau Warba dan Bubyan. Irak secara demonstratif menuntut kepada Kuwait menyewakan kedua pulau tersebut untuk jangka waktu tidak tanggung-tanggung yaitu 99 tahun dengan imbalan Irak mengakui tapal batas secara sah dan resmi. Diperairan kedua pulau itu pulalah sumber kekayaan minyak Kuwait yang berlimpah-ruah. Irak sudah lama mengincar kedua pulau yang amat strategis itu.
Sehubungan dengan tapal batas Kuwait-Irak berdasarkan kepada konvensi Inggris dan Kerajaan Otoman tahun 1913 kemudian diperbaharui tahun 1932 setelah Irak merdeka dari Inggris. Tahun 1935 perundingan Irak dan Inggris kembali menentukan tapal batas Kuwait dengan Irak dan status pulau Warba dan Bubyan diserahkan kepada Kuwait. Panjang pulau Bubyan tidak lebih dari 41 km dan lebarnya 1,6 km, sedangkan panjang pulau Warba 12,8 km. Kedua pulau tersebut berpenduduk sangat jarang dan strategis untuk pangkalan AL dalam menghadapi ancaman Iran.
Usaha kearah penyelesaian sengketa kedua negara sempat disponsori oleh almarhum Presiden Anwar Sadat dari Mesir dengan kunjungannya ke Baghdad dan Kuwait tanggal 12-16 Mei 1975. Tahun itu pula Saddam Hussein yang waktu itu menjabat Wakil Presiden mengadakan kontak dengan Emir Kuwait membicarakan kemungkinan Irak menyewa kedua pulau diatas. Kuwait semula
sudah dapat menyetujui untuk memberikan hak pakai sebagian kecil dari pulau Bubyan kepada Irak, tetapi kemudian Kuwait mencabut kembali karena Irak mengingankan keseluruhan bukan sebagian kecil. Tahun 1977 sengketa itu dibawa kembali kepermukaan dan semakin menjadi panas sampai Irak menduduki Kuwait tanggal 2 Agustus 1990.
Akhirnya, perselisihan Irak-Kuwait mengenai perbatasan dan ambisi Irak menguasai Kuwait membawa malapetaka dunia internasional yang tidak dapat diramalkan kapan berakhirnya.*
Riyadh, 7 Desember 1990
Referensi :
1. Al-Siyassa Al-Dawlya, No. 102 Oktober 1990, halaman 966-969.
Judul Asli :" Juzur Al-Azmah Bainal Iraq wal Kuwait",
Oleh : Khalid Sarjani (Cairo).
2. Kuwait wal Haqaiq (Sejarah Kuwait),
Oleh Saad Khalaf Al-Afnan, Penerbit Al-Muhaisin,
Hail, Arab Saudi, September 1990.
3. Harian Al-Riyadh, Oktober 1990.
Oleh : Zulharbi Salim
Timbulnya krisis Teluk Arab disebabkan Irak sudah lama berambisi menduduki Kuwait. Perselisihan sekarang ini adalah yang ketiga kali dalam sejarah konflik kedua negara sejak Kuwait merdeka tahun 1961. Yang pertama pertikaian terjadi setelah Kuwait merdeka tahun 1961, dan yang kedua adalah tahun 1973.
Menelusuri timbulnya pertentangan Irak-Kuwait cukup panjang dan memerlukan studi tersendiri. Berikut ini akan dikemukakan sepintas kenapa Irak berambisi menduduki Kuwait?
Sejak tahun 1940 tapal batas Irak dengan Kuwait sudah tidak menjadi masalah dalam hubungan bertentangga dan berjalan mulus. Hakikat terjadinya perselisihan karena ambisi pribadi dan politik serta pertentangan pendapat yang berkepanjangan dan saling tuduh tanpa dasar hukum.
Perselisihan Tahun 1961
Kuwait memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tanggal 19 Juni 1961. Persetujuan 4 fasal Inggris-Kuwait menyebutkan membatalkan perjanjian tanggal 23 Januari 1899, dimana isi perjanjian tersebut tidak sesuai lagi dengan kedaulatan Kuwait. Melanjutkan hubungan kerjasama kedua negara dengan semangat persahabatan. Membicarakan pembinaan hubungan bilateral dan kesediaan Inggris membantu pemerintah Kuwait apabila diperlukan.
Perjanjian menekankan menjadi hak Kuwait mendirikan pemerintahan tersendiri tanpa campur tangan Inggris mengurus dan menentukan urusan dalam dan luar negeri, menetapkan mata uang nasional Kuwait, keikutsertaan Kuwait dalam berbagai organisasi regional dan internasional. Inggris mengakui kemerdekaan Kuwait dengan kedaulatan yang penuh dan sah.
25 Juni 1961, Perdana Menteri Irak, waktu itu dipegang Jenderal Abdul Karim Kasim mengadakan konperensi pers di Baghdad yang menyatakan "Kuwait adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Irak". Pemerintah Republik Irak sama sekali tidak mengakui perjanjian tahun 1899 karena perjanjian itu palsu. Tidak ada hak bagi orang-orang Kuwait atau orang-orang asing menentukan pemerintahan rakyat Kuwait yang hakikatnya adalah rakyat Irak. Pemerintah Irak menetapkan untuk melindungi rakyat Kuwait dari penjajahan dan boneka Inggris dan tidak akan mengakui kedaulatan Kuwait.
Jenderal Kasim menunjuk seorang Sheikh dari Basra untuk menjadi Gubernur Kuwait. Pemerintah Irak tanggal 26 Juni 1991 menyampaikan nota kepada seluruh Kedutaan Besar Arab dan Asing di Baghdad memberitahukan bahwa "Kuwait adalah bagian dari Irak, yang termasuk wilayah Basra sejak zaman pemerintahan Otoman sampai pecahnya perang dunia pertama".
Sejak abad ke-14 penjahahan Inggris untuk kepentingan militer dan ekonominya berusaha dengan segala cara mencaplok negara-negara Arab. Inggris menguasai beberapa negara Arab sampai ke lautan India, termasuk wilayah strategis di Teluk Persia dan Kuwait salah satu yang dikuasai dan memisahkannya dari Irak.
Pemerintah Kuwait membantah tuduhan Irak bahwa Kuwait telah digadaikan Inggris kepada Turki dan meminta Arab Saudi turun tangan memberikan bantuan militer untuk melindungi pemerintahan dan kemerdekaannya. Kuwait juga meminta bantuan Inggris mengirimkan pasukannya. Kuwait memberitahukan Liga Arab dan PBB tentang ancaman Irak dan menuntut DK PBB bersidang untuk memberikan perlindungan kepada Kuwait. Dipihak lain Irak mengusulkan pula DK PBB bersidang untuk mengusir tentara Inggris dari Kuwait. Mulailah pertentangan tajam antara Irak-Kuwait yang mengancam keamanan kedaulatan kedua negara.
Tanggal 2-7 Juli 1961 Dewan Keamanan PBB bersidang membahas sengketa kedua negara. Irak menolak tuntutan Kuwait dengan alasan bahwa Kuwait bukanlah negara berdaulat sesuai dengan piagam PBB fasal 35/2. Tidak ada yang mendukung Irak selain Uni Soviet. Irak menyatakan tidak akan mempergunakan kekuatan militer untuk merebut Kuwait dan akan menempuh cara damai di meja perundingan, Sidang tidak menghasilkan suatu keputusan. Inggris kemudian tampil dengan rancangan resolusi meminta pengakuan terhadap kedaulatan dan kemerdekaan Kuwait. Menyerukan Liga Arab ikut serta menyelesaikan permasalahan dengan cara damai. Rancangan resolusi Inggris tidak berhasil karena di veto Uni Soviet. Tetapi dalam veto itu tidak disebutkan supaya pasukan Inggris ditarik dari Kuwait sebagaimana yang diusulkan oleh Mesir.
Liga Arab
Ditingkat Liga Arab, para Menteri Luar Negeri Liga Arab mengadakan Sidang Darurat atas permintaan Arab Saudi yang mengusulkan pengakuan Liga Arab terhadap kedaulatan Kuwait dan diterima menjadi anggota baru. Membicarakan ancaman Irak terhadap kemerdekaan Kuwait. Sidang gagal, tidak menghasilkan suatu keputusan. Ditetapkan supaya Sekjen Liga Arab mempelajari situasi di lapangan dengan melakukan pembicaraan dengan pemerintah Irak, Kuwait dan Arab Saudi.
Pada tanggal 20 Juli 1961 Liga Arab mengeluarkan pernyataan
menyerukan kepada Kuwait untuk memulangkan pasukan Inggris dari Kuwait dalam waktu sesingkat mungkin. Menyerukan Irak supaya tidak mengadakan serangaan militer terhadap Kuwait dan membicarakannya melalui meja perundingan. Mendukung keinginan Kuwait untuk berdiri dalam pemerintahannya atau bergabunng dengan salah satu negara Arab. Mengakui dan menerima Kuwait menjadi anggota penuh Liga Arab dan mendukung Kuwait menjadi anggota PBB. Liga Arab menganjurkan kepada anggotanya untuk memberikan bantuan sepenuhnya bagi terjaminnya kemerdekaan Kuwait seuai dengan permintaan Kuwait dan menugasi Sekjen Liga Arab melaksanakan setiap keputusan.
Memberikan jaminan terhadap kedaulatan dan kemerdekaan Kuwait diiringi dengan pembentukan pasukan keamanan Liga Arab dibawah pengawasan Sekjen Liga Arab dengan wewenang membentuk pasukan gabungan yang terdiri dari 4.000 tentara. Mesir, Arab Saudi dan Yordania menyediakan masing-masing 1000 tentara, Sudan dan Tunisia masing-masing 500 tentara. Komandan pasukan dipilih dari Arab Saudi.
Dengan demikian ancaman Irak berakhir dengan tibanya pasukan keamanan Liga Arab di Kuwait. Pasukan gabungan Arab ini tidak berlangsung lama, pada tanggal 12 Oktober 1961 Mesir menarik pasukannya disebabkan krisis hubungan Mesir-Syria yang waktu itu bersatu dibawah bendera Republik Persatuan Arab. Hubungan Mesir dengan Yordania dan Arab Saudi menjadi renggang pula. Pada bulan Januari 1962 Arab Saudi dan Yordania menarik pasukannya pula yang kemudian disusul Sudan dan Tunisia.
Setelah Jenderal Abdul Karim Kasim meninggal sewaktu kudeta 1963, Irak mengakui kemerdekaan Kuwait. Menghormati perjanjian border (tapal batas) kedua negara yang ditanda tangani tanggal 21 Juli 1932 dan direfisi 10 Agustus 1932 antara Perdana Menteri Irak dan Emir Kuwait.
Pada tanggal 12 Oktober 1963 Kuwait memberikan pinjaman tanpa bunga kepada Irak sebesar 30 juta Dinar. Sejak Abdul Salam Arif memegang pemerintahan di Irak, hubungannya dengan Kuwait berjalan lancar, mulus dan mesra sampai terjadi keretakan pada tahun l972.
Menurut pakar sejarah Teluk Arab (Persia), pemikiran para pemimpin Irak sering berobah dari satu saat ke saat lain. Kefanatikan terhadap kemegahan masa jaya Kerajaan Otoman (Othmaniyah) di Baghdad menuntut penyatuan antara Irak dengan Kuwait tetap menjadi momok berkepanjangan. Dikaitkan dengan sejarah Irak yang Agung, motifasi penggambungan Kuwait muncul kepermukaan. Abdul Karim Kasim menyerukan kembali untuk menggabungkan Kuwait kepada Irak dengan cara integrasi. Para pakar mengemukankan alasan yang berbeda-beda sbb :
1. Bertujuan untuk menghalangi Kuwait melakukan kerjasama atau bergabung
dengan Arab Saudi dengan cara bagaimanapun.
2. Pemimpin Irak bermaksud mengajak Kuwait megikuti pola-pola pemerintahan Irak dan melakukan penyatuan seperti halnya penyatuan Mesir, Syria dan Lybia waktu itu. Tidak ada niat Irak mempergunakan aksi bersenjata dalam hal ini. Integrasi ini diusahakan melalui integrasi massa yang dikoordinasikan oleh kader-kader Partai Baath yang sosialis. Usaha ini ditampik Kuwait.
3. Jenderal Kasim sebenarnya tidak serius melakukan seruan integrasi dengan Kuwait, tetapi dilakukannya juga atas desakan anggota Dewan Revolusi yang sudah mulai pecah dari dalam. Sementara pembangkang Kurdi yang beroposisi dengan pemerintah Irak menuntut kemerdekaan. Untuk menjaga wibawa dimata stafnya, dengan berat hati Jenderal Kasim menerima usul rencana penggabungan Kuwait.
Pertikain Tahun 1973
Irak dalam tahun tujuh puluhan mulai kembali mengusik Kuwait dengan membangkitkan pertikaian mengenai tapal batas dan berusaha memperoleh kembali dua buah pulau yang terletak di Teluk Arab, tidak jauh dari Al-Fao di wilayah Irak. Mengenai sengketa kedua pulau tersebut diadakan pembicaraan antara tahun 1963-1973, khususnya sejak meletusnya perang Irak-Iran karena perselihan mengenai Shaat Al-Arab. Pada bulan Maret 1973, Irak mencoba menduduki wilayah sengketa dan kemudian menarik diri setelah adanya tekanan-tekanan dari Liga Arab.
Disini terdapat kesamaan dan perbedaan pertikaian antara Irak-Kuwait dalam tahun enam puluhan dan tujuh puluhan. Persamaannya terletak dalam bidang politik, ekonomi dan strategi militer.
1. Irak mulai berorientasi ke Moskow dengan menjalin hubungan bilateral yang lebih akrab, termasuk kerjasama militer. Irak bermaksud membangun pangkalan Angkatan Laut atas bantuan Uni Soviet, tetapi terbentur karena Irak tidak mempunyai pelabuhan yang memadai untuk menggelar Angkatan Lautnya di pantai Teluk Persia. Teritorial perairan yang sempit untuk mengadakan latihan-latihan. Pantai yang dimiliki Irak tak lebih dari 36 mil (sekitar 57 km). Irak berambisi menguasai sebagian pantai Shaat El-Arab yang telah menjadi ajang pertempuran selama 8 tahun dengan Iran dan berambisi pula menguasai pulau dan wilayah Kuwait guna merealisasi cita-cita pembangunan pangkalan AL yang kuat.
2. Pertentangan Irak-Kuwait didukung dengan jalinan hubungan baik Kuwait-Iran dan semakin memburuknya hubungan Irak-Iran. Rasa iri menjadikan Irak terus penasaran mewujudkan pangkalan AL di Teluk untuk menandingi AL Iran yang kuat. Kuwait dengan Iran dapat menyelesaikan masalah perbatasan lautnya di Teluk Persia tanpa hambatan. Akibatnya persetujuan Kuwait-Iran ini pulalah yang menyulut kemarahan Irak dan menyebabkan perang dengan Iran berkobar.
3. Irak tidak menginginkan Iran mempunyai Angkatan Laut yang kuat di Teluk. Memang jumlah AL Iran jauh lebih kuat dari AL Irak. Iran dapat dengan leluasa bergerak di Teluk sampai keperairan Kuwait mengawasi lalu lintas kapal-kapal perang dan tanker Irak.
4. Keputusan Irak menasionalisasikan perusahaan minyak swasta "Iraq Petroleum" menunjukkan bahwa pemerintah Irak sudah kesulitan dalam mengelola minyak bagi keperluan dalam negeri yang berarti kurangnya devisa dari minyak, sedangkan biaya untuk perang dengan Iran membutuhkan lebih banyak. Untuk itu, Irak melirik ketetangganya di Selatan yang kaya-raya dengan sumber minyak yaitu Kuwait. Irak sangat berambisi menguasai sumber minyak Kuwait yang strategis dan amat penting.
Perselisihan Irak-Kuwait antara tahun 1961 dan 1973 berkisar sekitar usaha Irak mencaplok Kuwait dengan berbagai dalih dan alasan. Dan perbedaan pendapat yang lain adalah mengenai tapal batas. Diantara wilayah perbatasan yang menjadi sebab malapetaka kedua negara adalah perbatasan di Wadi Al-Batin sepanjang 45 km sebagai garis pemisah, perbatasan dekat lembah Safwan sejauh 1,6 km, wilayah Al-Samita sepanjang 8 km yang terletak di mulut pelabuhan Ummul Kasr, dimana Irak membangun pangkalan AL dan pemuatan kapal Tanker Irak. Daerah ini sangat kaya dengan minyak dan perselisihan mengenai perairan pulau Warba dan Bubyan. Irak secara demonstratif menuntut kepada Kuwait menyewakan kedua pulau tersebut untuk jangka waktu tidak tanggung-tanggung yaitu 99 tahun dengan imbalan Irak mengakui tapal batas secara sah dan resmi. Diperairan kedua pulau itu pulalah sumber kekayaan minyak Kuwait yang berlimpah-ruah. Irak sudah lama mengincar kedua pulau yang amat strategis itu.
Sehubungan dengan tapal batas Kuwait-Irak berdasarkan kepada konvensi Inggris dan Kerajaan Otoman tahun 1913 kemudian diperbaharui tahun 1932 setelah Irak merdeka dari Inggris. Tahun 1935 perundingan Irak dan Inggris kembali menentukan tapal batas Kuwait dengan Irak dan status pulau Warba dan Bubyan diserahkan kepada Kuwait. Panjang pulau Bubyan tidak lebih dari 41 km dan lebarnya 1,6 km, sedangkan panjang pulau Warba 12,8 km. Kedua pulau tersebut berpenduduk sangat jarang dan strategis untuk pangkalan AL dalam menghadapi ancaman Iran.
Usaha kearah penyelesaian sengketa kedua negara sempat disponsori oleh almarhum Presiden Anwar Sadat dari Mesir dengan kunjungannya ke Baghdad dan Kuwait tanggal 12-16 Mei 1975. Tahun itu pula Saddam Hussein yang waktu itu menjabat Wakil Presiden mengadakan kontak dengan Emir Kuwait membicarakan kemungkinan Irak menyewa kedua pulau diatas. Kuwait semula
sudah dapat menyetujui untuk memberikan hak pakai sebagian kecil dari pulau Bubyan kepada Irak, tetapi kemudian Kuwait mencabut kembali karena Irak mengingankan keseluruhan bukan sebagian kecil. Tahun 1977 sengketa itu dibawa kembali kepermukaan dan semakin menjadi panas sampai Irak menduduki Kuwait tanggal 2 Agustus 1990.
Akhirnya, perselisihan Irak-Kuwait mengenai perbatasan dan ambisi Irak menguasai Kuwait membawa malapetaka dunia internasional yang tidak dapat diramalkan kapan berakhirnya.*
Riyadh, 7 Desember 1990
Referensi :
1. Al-Siyassa Al-Dawlya, No. 102 Oktober 1990, halaman 966-969.
Judul Asli :" Juzur Al-Azmah Bainal Iraq wal Kuwait",
Oleh : Khalid Sarjani (Cairo).
2. Kuwait wal Haqaiq (Sejarah Kuwait),
Oleh Saad Khalaf Al-Afnan, Penerbit Al-Muhaisin,
Hail, Arab Saudi, September 1990.
3. Harian Al-Riyadh, Oktober 1990.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar