Selasa, 02 Juni 2009
Genderang Perang Teluk Siap Ditabuh
Genderang Perang Di Teluk Parsi Siap Ditabuh
Oleh : Zulharbi Salim
Presiden Irak, Saddam Hussein menolak menerima kunjungan Menlu AS, James Baker tanggal 3 Januari 1991 merupakan pertanda genderang perang di Teluk Persia bakal ditabuh. Inisiatif yang dilakukan Presiden George Bush untuk mengadakan kunjungan timbal balik antara Menlu Irak, Tarik Aziz dan Menlu AS, James Baker menjadi gagal karena tidak adanya kesepakatan mengenai tanggal pertemuan. Semula AS mengusulkan, Menlu Irak, Tarik Aziz akan diterima Presiden Bush di Washington 17 Desember 1990, kemudian Menlu AS, Baker akan berkunjung ke Baghdad pada tanggal 3 Januari 1991.
Sedangkan Presiden Saddam Hussein mengusulkan kunjungan Menlu James Baker ke Baghdad pada tanggal 12 Januari 1991. Waktu yang diusulkan Saddam ini tidak dapat diterima Presiden Bush dan menyatakan waktu tersebut sangat sempit dan berbahaya yaitu 3 hari sebelum limit waktu yang telah ditetapkan DK PBB untuk mengadakan aksi bersenjata. Kemudian Saddam Hussein berusaha memajukan waktu pertemuan menjadi tanggal 9 Januari 1991, bukan dengannya, tetapi dengan Menlunya di Swiss. Jika pertemuan tanggal 9 Januari 1991 ini gagal keadaan semakin rawan.
Dengan taktik ulur waktu Presiden Saddam Hussein dinilai banyak pengamat sebagai tidak mempunyai iktikad baik dalam mengupayakan jalan damai dan lebih suka memilih berkobarnya peperangan. Waktu 3 atau 5 hari menjelang tanggal 15 Januari 1991 sangat singkat bagi suatu kunjungan seorang Menlu ke Baghdad bahkan bisa pula menjadi sandera bergabung dengan sandera-sandera yang lain. Menlu James Baker menyatakan bahwa ia masih berharap akan dapat bertemu dengan Saddam Hussein di Baghdad sebelum tanggal 12 Januari 1991, kalau perlu siap terbang ke Baghdad sebelum tanggal 9 Januari 1991 bahkan jauh sebelumnya. Apabila tanggal 9 Januari 1991pertemuan Baker dengan Saddam Hussein tidak jadi berarti keadaannya semakin kritis. Sebaliknya jika pertemuan berjalan lancar sebagaimana dinyatakan Menlu Baker sebagai kesempatan terakhir merupakan sukses dan akan terhindar dari bahaya perang yang sudah digelar. Harapannya sangat tipis, tidak sebesar akhir tahun 1990 lalu.
Waktu berjalan terus dan ultimatum DK PBB tinggal beberapa hari lagi. Meletusnya perang sebelum atau sesudah tanggal 15 Januari 1991 menjadi pembicaraan hangat pakar politik dan militer di Timur Tengah. Jika inisiatif damai tidak memungkinkan lagi dalam rangka mencari penyelesaian mengingat sudah sempitnya waktu ancaman perang terbuka tidak dapat dihindarkan lagi.
Tekad Presiden Saddam Hussein untuk bertahan di Kuwait dikemukakannya ketika menyambut tahun baru 1991 di Kuwait, ketika mengunjungi pasukan Irak disana. Dibawah unggun api dimusim dingin, Saddam Hussein memberi semangat tempur kepada pasukannya untuk mengusir pasukan Amerika dan sekutunya di kawasan Teluk. "Irak sama sekali tidak akan mundur dari Kuwait dan akan bertahan sampai tetes darah terakhir", ucapnya kepada para prajurit Irak. Kunjungan Presiden Saddam Hussein ke Kuwait diawal tahun 1991 ini adalah yang ketiga setelah Kuwait didudukinya.
Sementara itu Saddam Hussein telah mengemukakan ancamanya akan menyerang Arab Saudi, jika pasukan multinasional dibawah Komando AS menyerang Irak atau Kuwait. Kemungkinan pecahnya perang meletus dibuktikan pula dengan ketegasan Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan beberapa negara Barat lainnya untuk mengungsiskan keluarga diplomatnya dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahraian dan Oman, bahkan juga yang sedang berada di Yaman. Negara-negara adikuasa itu juga meningkatkan jumlah pasukannya di Teluk.
Kehancuran buat Irak
Sebuah analisa yang diturunkan majalah mingguan Al-Majala yang terbit di London minggu terakhir tahun 1990 meliput perkiraan jika perang pecah. Apabila usaha merebut Irak dilakukan dan bentrokan bersenjata sudah tidak dapat lagi dihindarkan pihak Amerika Serikat jauh lebih unggul dari Irak di udara. Irak hanya mempunyai pesawat tempur 600 buah dengan mudah dapat dilumpuhkan jika duet di udara, mengingat pesawat tempur Irak kebanyakan sudah tidak prima lagi dan banyak yang sudah rusak. Ada beberapa pesawat tempur Irak seperti Mig pemburu buatan Perancis, tidak cukup untuk menangkis serangan AS dan sekutunya.
Bagaimanapun pilot-pilot pesawat tempur Irak yang sudah terlatih dalam perang 8 tahun dengan Iran, sulit untuk mengimbanagi kekuatan pesawat tempur AS yang jauh lebih canggih dan modern. Perang elektronika ini tidak akan memakan waktu lama, dan perkiraannya bisa selesai dalam waktu 6 jam. Atau bisa juga berlarut-larut sampai 6 bulan.
Dalam gerakan offensif pasukan Amerika menyerang Irak direncanakan dalam tiga sudut wawasan. Pertama serangan udara, laut dan rudal jarak jauh disamping menyerbu lewat darat. Kalau di darat kemampuan 60 divisi pasukan Irak sulit diterobos dengan pertahanan empat lapis yang dibuat sedemikian rupa di Kuwait. Irak telah membangun pertahanan kuat dengan menyebar ranjau darat, lobang yang dipasang tabung gas, pagar kawat berduri beraliran tenaga listrik tegangan tinggi dan lapisan tank yang disembunyikan dibalik onggokan pasir setinggi 12 meter. Irak dalam kesempatan memperkuat pertahanannya di Kuwait akan mengandalkan rudal kimia jarak jauh. Senjata kimia beracun inilah yang selalu menjadi momok dalam perang Teluk Persia. Tidak dapat dibayangkan betapa mengerikan akibatnya. Sejarah Saddam telah dinukilkan dalam buku hitam menyingkapkan tabir pembantaiannya terhadap suku Kurdi yang nota-bene adalah bangsa Irak sendiri di dalam peristiwa Halbaja tahun 1988, tidak lama sebelum gencatan senjata dengan Iran.
Kemampuan Helikopter AS yang dikenal dengan Apache akan dapat menghalau serangan lapisan baja Irak sebelum mencapai sasarannya. Kalau mengandalkan pasukan Angkatan Darat, pengalaman perang Irak jauh lebih unggul. Pasukan multinasional yang berada di gurun pasir di Arab Saudi bagian Utara dan dekat perbatasan Kuwait tidak tahan dalam menghadapi iklim yang sangat dingin.
Skenario yang telah disusun oleh para ahli strategi militer pasukan multinasional, terlebih dahulu harus membumi-hanguskan instalasi pabrik senjata kimia atau sumber nuklir Irak, yang konon sudah berada di tangan pasukan Amerika Serikat. Kalau serbuan ini jadi akibatnya kesengseraan rakyat Irak bertambah parah dan korban berjatuhan lebih banyak. Irak akan hancur dan dapat diperkirakan pecahnya perang terbuka secara besar-besaran.
Ancaman Irak untuk menyerang Israel apabila Irak diserbu menjadikan posisi Irak akan terjepit, dimana Israel merupakan suatu kekuatan yang harus diperhitungkan pula. PM Isreal Yishak Shamir dalam tangkisan terhadap ancaman Saddam Hussein menyatakan "jika masalah krisis Teluk Persia dikaitkan dengan Israel dan Palestina, Israel akan membalas setiap serangan Irak dengan yang lebih dahsyat lagi".
Menteri Pertahanan AS, Dick Cheney menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya perang dengan Irak makin besar, karena Presiden Saddam Hussein nampaknya tidak memahami kebulatan tekad pasukan multinasional untuk mengusir pasukan Irak dari Kuwait. Didepan pasukan AS di Basecamp Arab Saudi, Cheney memompa semangat tempur pasukan AS dengan menyatakan "kalian datang kemari adalah untuk kepentingan bangsa Amerika. Nama kalian akan dicatat sebagai pahlawan dan untuk itu bersiap-siaplah".
Penyelesaian politik
Selama upaya penyelesaian melalui jalur diplomatik dapat dilakukan, ancam-mengancam meletusnya perang akan dapat dihindari. Sudah sejak pertemuan Helsinki antara Presiden Bush dan Presiden Gorbachev masalah penyelesaian krisis Teluk lewat jalur diplomatik dibicarakan sampai kepada inisiatif Presiden Bush mengirimkan Menlu Baker ke Baghdad, disamping inisiatif para pemimpin Arab secara pribadi dan sendiri-sendiri dilakukan. Dapat dilihat bagaimana kunjungan Presiden Aljazair. Chadli Benjedid ke beberapa negara Arab dan juga ke Irak, tidak membuahkan hasil. Raja Hassan dari Maroko pernah mengusulkan untuk mengadakan KTT Istimewa Liga Arab bagi mencari penyelesaian "masalah Arab oleh bangsa Arab sendiri".
Usaha ini juga gagal meyakinkan kehadiran Presiden Saddam Hussein. Tampaknya Liga Arab sudah kehilanagn pamor dan tidak berpengaruh lagi dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dikalangan bangsa Arab sendiri, hal ini terbukti dengan penarikan diri Chadli Klibi sebagai Sekjen Liga Arab. Bangsa Arab memang sulit menyelesaikan pertikaiannya sendiri dan ini tampaknya sudah menjadi watak.
Presiden Husni Mubarak dari Mesir yang sebelumnya adalah teman dekat Presiden Saddam Hussein telah menghimbau beberapa kali dalam setiap kesempatan dengan seruan "perdamaian"nya. Saddam Hussein hendaknya berpikir seribu kali untuk memulai kembali perang. Cukup sudah dengan pengalaman perang dengan Iran yang sudah menelan ribuan korban.
Keperihatinan dalam mengupayakan penyelesaian krisis Teluk lewat jalur diplomatik sudah semakin memuncak dan tipis dengan dekatnya batas waktu yang diberikan DK PBB yaitu tanggal 15 Januari 1991. Meskipun dalam pelaksanaannya tidak mesti perang pecah sesudah tanggal 15 Januari 1991 ini, dimana nanti akan terjadi hal-hal yang luar biasa. Presiden Saddam segera menyatakan kesediaannya menarik pasukannya dari Kuwait sesaat sebelam tanggal 15 Januari 1991 mendatang.
Di Washington, seorang anggota partai Demokrat berpengaruh dalam Dewan Perwakilan, L. Aspin mendukung pendirian Presiden Bush bahwa sanksi-sanksi saja tidak akan memaksa Irak menarik diri dari Kuwait. Aspin, yakin Ketua Komisi Angkatan Bersenjata dalam Kongres menyatakan telah berkesimpulan bahwa menjanjikan diri pada sanksi bukanlah sarana penyelesaian yang tepat. Dikatakannya kalau Washington berharap bahwa dengan sanksi dan ancaman perang dapat memaksa Irak keluar dari Kuwait maka ancaman perang itu hendaknya ancaman perang yang dapat diandalkan.
Kebanyakan pemimpin Demokrat termasuk Ketua Komisi Angkatan Bersenjata dalam Senat, Senator Syam Nahn telah mengemukakan argumentasi bahwa sanksi-sanksi terhadap Irak akan membuahkan hasil kalau diberi waktu satu tahun sampai dengan 18 bulan.
Stabilitas di Teluk
Presiden Perancis, Francois Mitterand menegaskan kembali dukungannya terhadap Konperensi Internasional mengenai perdamaian di Timur Tengah.
Menurut Mitterand, konperensi semacam itu hendaknya diadakan pembahasan mendalam baik mengenai stabilitas di Teluk Persia maupun masalah Arab-Israel, meskipun tidak perlu dibicarakan dalam waktu yang bersamaan. Pada prinsipnya Presiden Perancis lebih menyukai inisiatif damai daripada perang, beliau senantiasa menganjurkan untuk menghindari aksi militer. Seperti diketahui Perancis juga bergabung dalam pasukan multinasional di kawasan Teluk.
Irak berulang kali berusaha mengaitkan krisis Teluk yang disebabkan invasinya ke Kuwait itu dengan masalah Palestina-Israel. Hal ini ditentang keras oleh Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Eropa Barat. Sementara itu Duta Besar Inggris untuk Irak menilai bahwa Presiden Saddam Husein seorang yang mampu dan cerdik, tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya. Irak tidak akan berpangku tangan sampai limit waktu tanggal 15 Januari 1991 yang ditetapkan DK PBB, tetapi akan berinisiatif, khususnya dalam meningkatkan kewaspadaan pasukannya di Kuwait atau akan menarik sama sekali pasukannya dari Kuwait baik secara keseluruhan ataupun bertahap.
Waktu yang ditetapkan DK PBB tinggal beberapa hari lagi, krisis semakin memuncak dan persiapan ke arah meletusnya perang semakin dekat. *
Bukittinggi, 4 Januari 1991.
Referensi :
1. Majalah Al-Majalla, London
2. Asharq Al-Awsat, 28 Desember 1990
3. Harian Al-Jazirah, 28 Desember 1990.
4. Radio BBC, London dan Radio Australia.
(Dari: Harian Suara Karya, tanggal 9 Januari 199
Oleh : Zulharbi Salim
Presiden Irak, Saddam Hussein menolak menerima kunjungan Menlu AS, James Baker tanggal 3 Januari 1991 merupakan pertanda genderang perang di Teluk Persia bakal ditabuh. Inisiatif yang dilakukan Presiden George Bush untuk mengadakan kunjungan timbal balik antara Menlu Irak, Tarik Aziz dan Menlu AS, James Baker menjadi gagal karena tidak adanya kesepakatan mengenai tanggal pertemuan. Semula AS mengusulkan, Menlu Irak, Tarik Aziz akan diterima Presiden Bush di Washington 17 Desember 1990, kemudian Menlu AS, Baker akan berkunjung ke Baghdad pada tanggal 3 Januari 1991.
Sedangkan Presiden Saddam Hussein mengusulkan kunjungan Menlu James Baker ke Baghdad pada tanggal 12 Januari 1991. Waktu yang diusulkan Saddam ini tidak dapat diterima Presiden Bush dan menyatakan waktu tersebut sangat sempit dan berbahaya yaitu 3 hari sebelum limit waktu yang telah ditetapkan DK PBB untuk mengadakan aksi bersenjata. Kemudian Saddam Hussein berusaha memajukan waktu pertemuan menjadi tanggal 9 Januari 1991, bukan dengannya, tetapi dengan Menlunya di Swiss. Jika pertemuan tanggal 9 Januari 1991 ini gagal keadaan semakin rawan.
Dengan taktik ulur waktu Presiden Saddam Hussein dinilai banyak pengamat sebagai tidak mempunyai iktikad baik dalam mengupayakan jalan damai dan lebih suka memilih berkobarnya peperangan. Waktu 3 atau 5 hari menjelang tanggal 15 Januari 1991 sangat singkat bagi suatu kunjungan seorang Menlu ke Baghdad bahkan bisa pula menjadi sandera bergabung dengan sandera-sandera yang lain. Menlu James Baker menyatakan bahwa ia masih berharap akan dapat bertemu dengan Saddam Hussein di Baghdad sebelum tanggal 12 Januari 1991, kalau perlu siap terbang ke Baghdad sebelum tanggal 9 Januari 1991 bahkan jauh sebelumnya. Apabila tanggal 9 Januari 1991pertemuan Baker dengan Saddam Hussein tidak jadi berarti keadaannya semakin kritis. Sebaliknya jika pertemuan berjalan lancar sebagaimana dinyatakan Menlu Baker sebagai kesempatan terakhir merupakan sukses dan akan terhindar dari bahaya perang yang sudah digelar. Harapannya sangat tipis, tidak sebesar akhir tahun 1990 lalu.
Waktu berjalan terus dan ultimatum DK PBB tinggal beberapa hari lagi. Meletusnya perang sebelum atau sesudah tanggal 15 Januari 1991 menjadi pembicaraan hangat pakar politik dan militer di Timur Tengah. Jika inisiatif damai tidak memungkinkan lagi dalam rangka mencari penyelesaian mengingat sudah sempitnya waktu ancaman perang terbuka tidak dapat dihindarkan lagi.
Tekad Presiden Saddam Hussein untuk bertahan di Kuwait dikemukakannya ketika menyambut tahun baru 1991 di Kuwait, ketika mengunjungi pasukan Irak disana. Dibawah unggun api dimusim dingin, Saddam Hussein memberi semangat tempur kepada pasukannya untuk mengusir pasukan Amerika dan sekutunya di kawasan Teluk. "Irak sama sekali tidak akan mundur dari Kuwait dan akan bertahan sampai tetes darah terakhir", ucapnya kepada para prajurit Irak. Kunjungan Presiden Saddam Hussein ke Kuwait diawal tahun 1991 ini adalah yang ketiga setelah Kuwait didudukinya.
Sementara itu Saddam Hussein telah mengemukakan ancamanya akan menyerang Arab Saudi, jika pasukan multinasional dibawah Komando AS menyerang Irak atau Kuwait. Kemungkinan pecahnya perang meletus dibuktikan pula dengan ketegasan Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan beberapa negara Barat lainnya untuk mengungsiskan keluarga diplomatnya dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahraian dan Oman, bahkan juga yang sedang berada di Yaman. Negara-negara adikuasa itu juga meningkatkan jumlah pasukannya di Teluk.
Kehancuran buat Irak
Sebuah analisa yang diturunkan majalah mingguan Al-Majala yang terbit di London minggu terakhir tahun 1990 meliput perkiraan jika perang pecah. Apabila usaha merebut Irak dilakukan dan bentrokan bersenjata sudah tidak dapat lagi dihindarkan pihak Amerika Serikat jauh lebih unggul dari Irak di udara. Irak hanya mempunyai pesawat tempur 600 buah dengan mudah dapat dilumpuhkan jika duet di udara, mengingat pesawat tempur Irak kebanyakan sudah tidak prima lagi dan banyak yang sudah rusak. Ada beberapa pesawat tempur Irak seperti Mig pemburu buatan Perancis, tidak cukup untuk menangkis serangan AS dan sekutunya.
Bagaimanapun pilot-pilot pesawat tempur Irak yang sudah terlatih dalam perang 8 tahun dengan Iran, sulit untuk mengimbanagi kekuatan pesawat tempur AS yang jauh lebih canggih dan modern. Perang elektronika ini tidak akan memakan waktu lama, dan perkiraannya bisa selesai dalam waktu 6 jam. Atau bisa juga berlarut-larut sampai 6 bulan.
Dalam gerakan offensif pasukan Amerika menyerang Irak direncanakan dalam tiga sudut wawasan. Pertama serangan udara, laut dan rudal jarak jauh disamping menyerbu lewat darat. Kalau di darat kemampuan 60 divisi pasukan Irak sulit diterobos dengan pertahanan empat lapis yang dibuat sedemikian rupa di Kuwait. Irak telah membangun pertahanan kuat dengan menyebar ranjau darat, lobang yang dipasang tabung gas, pagar kawat berduri beraliran tenaga listrik tegangan tinggi dan lapisan tank yang disembunyikan dibalik onggokan pasir setinggi 12 meter. Irak dalam kesempatan memperkuat pertahanannya di Kuwait akan mengandalkan rudal kimia jarak jauh. Senjata kimia beracun inilah yang selalu menjadi momok dalam perang Teluk Persia. Tidak dapat dibayangkan betapa mengerikan akibatnya. Sejarah Saddam telah dinukilkan dalam buku hitam menyingkapkan tabir pembantaiannya terhadap suku Kurdi yang nota-bene adalah bangsa Irak sendiri di dalam peristiwa Halbaja tahun 1988, tidak lama sebelum gencatan senjata dengan Iran.
Kemampuan Helikopter AS yang dikenal dengan Apache akan dapat menghalau serangan lapisan baja Irak sebelum mencapai sasarannya. Kalau mengandalkan pasukan Angkatan Darat, pengalaman perang Irak jauh lebih unggul. Pasukan multinasional yang berada di gurun pasir di Arab Saudi bagian Utara dan dekat perbatasan Kuwait tidak tahan dalam menghadapi iklim yang sangat dingin.
Skenario yang telah disusun oleh para ahli strategi militer pasukan multinasional, terlebih dahulu harus membumi-hanguskan instalasi pabrik senjata kimia atau sumber nuklir Irak, yang konon sudah berada di tangan pasukan Amerika Serikat. Kalau serbuan ini jadi akibatnya kesengseraan rakyat Irak bertambah parah dan korban berjatuhan lebih banyak. Irak akan hancur dan dapat diperkirakan pecahnya perang terbuka secara besar-besaran.
Ancaman Irak untuk menyerang Israel apabila Irak diserbu menjadikan posisi Irak akan terjepit, dimana Israel merupakan suatu kekuatan yang harus diperhitungkan pula. PM Isreal Yishak Shamir dalam tangkisan terhadap ancaman Saddam Hussein menyatakan "jika masalah krisis Teluk Persia dikaitkan dengan Israel dan Palestina, Israel akan membalas setiap serangan Irak dengan yang lebih dahsyat lagi".
Menteri Pertahanan AS, Dick Cheney menyatakan bahwa kemungkinan terjadinya perang dengan Irak makin besar, karena Presiden Saddam Hussein nampaknya tidak memahami kebulatan tekad pasukan multinasional untuk mengusir pasukan Irak dari Kuwait. Didepan pasukan AS di Basecamp Arab Saudi, Cheney memompa semangat tempur pasukan AS dengan menyatakan "kalian datang kemari adalah untuk kepentingan bangsa Amerika. Nama kalian akan dicatat sebagai pahlawan dan untuk itu bersiap-siaplah".
Penyelesaian politik
Selama upaya penyelesaian melalui jalur diplomatik dapat dilakukan, ancam-mengancam meletusnya perang akan dapat dihindari. Sudah sejak pertemuan Helsinki antara Presiden Bush dan Presiden Gorbachev masalah penyelesaian krisis Teluk lewat jalur diplomatik dibicarakan sampai kepada inisiatif Presiden Bush mengirimkan Menlu Baker ke Baghdad, disamping inisiatif para pemimpin Arab secara pribadi dan sendiri-sendiri dilakukan. Dapat dilihat bagaimana kunjungan Presiden Aljazair. Chadli Benjedid ke beberapa negara Arab dan juga ke Irak, tidak membuahkan hasil. Raja Hassan dari Maroko pernah mengusulkan untuk mengadakan KTT Istimewa Liga Arab bagi mencari penyelesaian "masalah Arab oleh bangsa Arab sendiri".
Usaha ini juga gagal meyakinkan kehadiran Presiden Saddam Hussein. Tampaknya Liga Arab sudah kehilanagn pamor dan tidak berpengaruh lagi dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dikalangan bangsa Arab sendiri, hal ini terbukti dengan penarikan diri Chadli Klibi sebagai Sekjen Liga Arab. Bangsa Arab memang sulit menyelesaikan pertikaiannya sendiri dan ini tampaknya sudah menjadi watak.
Presiden Husni Mubarak dari Mesir yang sebelumnya adalah teman dekat Presiden Saddam Hussein telah menghimbau beberapa kali dalam setiap kesempatan dengan seruan "perdamaian"nya. Saddam Hussein hendaknya berpikir seribu kali untuk memulai kembali perang. Cukup sudah dengan pengalaman perang dengan Iran yang sudah menelan ribuan korban.
Keperihatinan dalam mengupayakan penyelesaian krisis Teluk lewat jalur diplomatik sudah semakin memuncak dan tipis dengan dekatnya batas waktu yang diberikan DK PBB yaitu tanggal 15 Januari 1991. Meskipun dalam pelaksanaannya tidak mesti perang pecah sesudah tanggal 15 Januari 1991 ini, dimana nanti akan terjadi hal-hal yang luar biasa. Presiden Saddam segera menyatakan kesediaannya menarik pasukannya dari Kuwait sesaat sebelam tanggal 15 Januari 1991 mendatang.
Di Washington, seorang anggota partai Demokrat berpengaruh dalam Dewan Perwakilan, L. Aspin mendukung pendirian Presiden Bush bahwa sanksi-sanksi saja tidak akan memaksa Irak menarik diri dari Kuwait. Aspin, yakin Ketua Komisi Angkatan Bersenjata dalam Kongres menyatakan telah berkesimpulan bahwa menjanjikan diri pada sanksi bukanlah sarana penyelesaian yang tepat. Dikatakannya kalau Washington berharap bahwa dengan sanksi dan ancaman perang dapat memaksa Irak keluar dari Kuwait maka ancaman perang itu hendaknya ancaman perang yang dapat diandalkan.
Kebanyakan pemimpin Demokrat termasuk Ketua Komisi Angkatan Bersenjata dalam Senat, Senator Syam Nahn telah mengemukakan argumentasi bahwa sanksi-sanksi terhadap Irak akan membuahkan hasil kalau diberi waktu satu tahun sampai dengan 18 bulan.
Stabilitas di Teluk
Presiden Perancis, Francois Mitterand menegaskan kembali dukungannya terhadap Konperensi Internasional mengenai perdamaian di Timur Tengah.
Menurut Mitterand, konperensi semacam itu hendaknya diadakan pembahasan mendalam baik mengenai stabilitas di Teluk Persia maupun masalah Arab-Israel, meskipun tidak perlu dibicarakan dalam waktu yang bersamaan. Pada prinsipnya Presiden Perancis lebih menyukai inisiatif damai daripada perang, beliau senantiasa menganjurkan untuk menghindari aksi militer. Seperti diketahui Perancis juga bergabung dalam pasukan multinasional di kawasan Teluk.
Irak berulang kali berusaha mengaitkan krisis Teluk yang disebabkan invasinya ke Kuwait itu dengan masalah Palestina-Israel. Hal ini ditentang keras oleh Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Eropa Barat. Sementara itu Duta Besar Inggris untuk Irak menilai bahwa Presiden Saddam Husein seorang yang mampu dan cerdik, tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya. Irak tidak akan berpangku tangan sampai limit waktu tanggal 15 Januari 1991 yang ditetapkan DK PBB, tetapi akan berinisiatif, khususnya dalam meningkatkan kewaspadaan pasukannya di Kuwait atau akan menarik sama sekali pasukannya dari Kuwait baik secara keseluruhan ataupun bertahap.
Waktu yang ditetapkan DK PBB tinggal beberapa hari lagi, krisis semakin memuncak dan persiapan ke arah meletusnya perang semakin dekat. *
Bukittinggi, 4 Januari 1991.
Referensi :
1. Majalah Al-Majalla, London
2. Asharq Al-Awsat, 28 Desember 1990
3. Harian Al-Jazirah, 28 Desember 1990.
4. Radio BBC, London dan Radio Australia.
(Dari: Harian Suara Karya, tanggal 9 Januari 199
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar